18/07/2022

Perang Dunia II dan misi Katolik di Papua Selatan

18/07/2022

Katolik Papua
Dokumen penulis

Perang Dunia II membawa akibat yang begitu besar bagi misi Katolik di Papua Selatan. Saat itu tidak mungkin mendatangkan misionaris baru untuk berkarya. 

 

Papua Selatan tidak pernah diduduki oleh ekspansi militer Jepang selama Perang Dunia II, kecuali Asmat, Mimika dan beberapa daerah lain di Papua. Daerah-daerah yang tidak diduduki oleh Jepang meliputi daerah pantai sekitar Merauke, Mappi dan Muyu. 

 

Oleh sebab itu, para misionaris, baik awam, maupun biarawan-biarawati, dapat bekerja terus tanpa gangguan akibat perang.

 

Pada tahun ini (sekitar 1941 - 1942) Pater Drabbe, MSC bekerja di antara suku Mappi dan Auyu. Tahun 1942-1945 ia mulai bekerja di antara suku Muyu. Pater ini tidak pernah segan untuk mempelajari bahasa daerah Mappi, Auyu dan Muyu. 

 

Pada tahun tersebut ini, doa-doa dibuat oleh sang pater dalam bahasa daerah, demi kepentingan pembinaan iman umat.

 

Selama Perang Dunia II tidak mungkin mendatangkan guru-guru baru dari Kei ataupun Tanimbar. Maka putra-putra asli daerah Muyu, Mappi dan Auyu sendiri dididik sedapat mungkin, untuk membantu pelayanan misi Katolik di daerah-daerah tersebut. 

 

Dengan metode demikian pelbagai kampung dapat ditempatkan guru asli. Mereka bekerja sebagai guru agama atau guru biasa pada sekolah-sekolah yang sudah dibuka.

 

Kemajuan misi Katolik di Papua Selatan dapat dilihat dalam statistik tahun 1945. Di pantai selatan Papua, termasuk Kimaam ada 8.608 orang Katolik, Muyu ada 4.028, Mappi dan Auyu ada 1.328 orang dan Mimika 4.992 orang Katolik. Jumlah seluruhnya kira-kira mencapai 19.000 orang Katolik. Ini merupakan suatu hasil yang memuaskan kala itu. 

 

Akan tetapi, ini sebuah hasil dari pengorbanan para misionaris yang membawa injil atau kabar baik.

 

Pada Mei 1943 Pater Laper, MSC meninggal dunia karena tenggelam dalam sungai di Mimika. Demikian pula dengan Pater Neyes, MSC. Ia menemui ajalnya karena tenggelam dalam sebuah sungai di dekat Muting. Hal ini terjadi pada tahun yang sama, yakni tahun 1943, waktu pendudukan Jepang di Papua. 

 

Misi Katolik di bawah asuhan MSC harus berduka karena kehilangan beberapa misionarisnya di Langgur-Kei Kecil, Maluku. Tahun 1942 Jepang menduduki pulau tersebut. 

 

Pagi-pagi tanggal 30 Juli 1942, Mgr. J. Aerts, MSC, bersama lima orang Pater dan lima orang bruder yang bekerja di Langgur dibunuh dengan kejam oleh tentara Jepang.

 

Sesudah Perang Dunia II para misionaris yang masih hidup dan kuat, setelah mengalami tawanan perang oleh pihak Jepang, akhirnya kembali ke stasi mereka masing-masing. 

 

Pada tahun 1946 datanglah beberapa misionaris dari Belanda yang siap membantu penyebaran Injil di Tanah Papua. Mereka adalah Pater Kessel, MSC, Pater Verhoeven, MSC, Bruder van Hoof dan Bruder van de Martel. 

 

Tak lama kemudian pada tahun yang sama, tepatnya di bulan Desember datang juga seorang pater muda yang menyusul mereka berempat. Dia adalah Pater Zegwaard, MSC. 

 

Pater ini sejak April 1947 ditugaskan di Mimika sampai tahun 1952. Waktu itu, Pater Kessel sudah bertugas di Pasir Putih dan di kemudian hari membuka stasi Primapun.

 

Pada tahun 1947 datang lagi beberapa misionaris muda dari Belanda yang siap membantu pelayanan Misi Katolik, di daerah yang bagi mereka semua serba baru.

 

Namun, mereka tak gentar dan siap menjalankan tugas ini dengan penuh semangat. Mereka itu adalah Pater Verhage, MSC, yang pada tahun kedatangannya bertugas di Merauke. 

 

Pada tahun 1948, datang juga seorang pater baru. Ia adalah Pater Sneekes, MSC. Ia ditugaskan untuk berkarya di daerah Muyu-Mandobo selama 12 tahun. 

 

Pater Sneekes bekerja tanpa lelah untuk mewartakan kabar baik bagi umat yang dilayaninya.

 

Tahun 1948 misi Katolik di daerah Merauke diperkuat dengan datangnya bruder-bruder dari Kongregasi Santa Perawan Tujuh Kedukaan. Mereka ini bekerja dan terlibat langsung dalam pendidikan, pertanian, peternakan dan pertukangan, yang mula-mula dibuka di Merauke. 

 

Baru setahun kemudian dibuka lagi di Kepi dan Mindiptana. Bruder-bruder menciptakan kader-kader baru yang siap berkarya di atas tanah mereka sendiri.

 

Katolik papua
Dokumen penulis

Tidak tinggal diam sebagai kaum perempuan. Maka pada tahun 1949 para suster mulai bekerja di Mimika dan daerah Muyu. 

 

Pada tahun yang sama, Pater Meeuwisse dan Pater Verschueren mengadakan perjalanan selama 53 hari. Mereka menempuh hutan dan menemukan sungai besar, yang pada waktu itu sungai ini belum masuk dalam gambar peta Pulau Papua. 

 

Mereka berdua juga berjumpa dengan penduduk yang belum terdaftar (dibaptis). Penduduk diperkirakan berjumlah 10.000 atau 15.000 orang. 

 

Pada saat yang sama stasi di Merauke berjalan dengan lancar. Di wilayah Merauke datang juga seorang bruder untuk membantu pelayanan di sana. Ia adalah Br. Leoendersloot. Bruder ini tiba di Merauke pada 3 April 1949. Di kemudian hari menyusul Pater Vriens, MSC yang bertugas di Bade.

 

Waktu Perang Dunia II pecah, Pater Verschueren sudah mendirikan sekolah pertanian dan pertukangan. Sesudah Perang Dunia II usai, sekolah-sekolah ini dipindahkan ke Kelapa Lima dan dikemudian hari ditingkatkan menjadi sekolah teknik. 

 

Para misionaris ini juga membuka sekolah lanjutan dan sekolah pendidikan guru. Semuanya berpusat di Merauke. 

 

Pada permulaan tahun 1950 datanglah tenaga baru yang siap berkarya. Ia adalah Br. Willemese yang diberi tugas mengurusi perkebunan. Tahun yang sama juga, datanglah seorang pater baru. Ia adalah Pater van de Linden.

 

Misi di Papua Selatan maju sedemikian pesat, sehingga pada Juni 1950, Papua Selatan dipisahkan dari Maluku, serta diangkat menjadi Vikariat Apostolik yang berpusat di Merauke. 

 

Pater H. Tillemans diangkat menjadi Vikaris Apostolik yang pertama. Dengan demikian Gereja di Papua dibagi dalam dua wilayah gerejani. Wilayah itu ialah Vikariat Apostolik Merauke dan Prefektur Apostolik Hollandia (sekarang Jayapura). Pada saat inilah misi di Papua memasuki babak baru. []

 

 

Penulis:Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM, Fransiskan Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua


Show comments