
Salah satu tokoh masyarakat ketika memberikan petuah melalui nyanyian saat pesta sekolah di Kampung Lentang, 11 September 2021. – Dokpri/Naratimo.com
Sebelum menulis catatan ringan ini pada suatu pagi yang udaranya menusuk ubun-ubun pukul lima pagi, saya dirasuk oleh sejumlah pertanyaan.

Pertanyaan-pertanyaan itu di antaranya, pertama, apakah pesta sekolah itu? Mengapa pesta sekolah luntur dan apa barometernya? Dan apakah pesta sekolah itu harus dipertahankan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas saya terlebih dahulu mencari tahu dan mencoba mengenang kembali—semacam napak tilas tentang pesta sekolah. Lokus tulisan singkat ini adalah daerah Manggarai di Pulau Flores, terutama sekitar kampung saya.
Sekadar diketahui, pesta sekolah adalah sebuah tradisi di Manggarai pada umumnya. Biasanya pesta sekolah digelar atau dibuat usai pengumuman kelulusan anak-anak SMA. Pesta sekolah—yang biasa dibuat sejak Juni hingga September saban tahun—dilakukan untuk mengumpulkan dana.
Sebelumnya hari H biasanya tuan pesta atau warga kampung mengundang masyarakat sekampung dan kampung tetangga beserta keluarganya yang tersebar di daerah lain.
Tujuan pesta sekolah adalah untuk bersama-sama memberikan dukungan bagi si anak yang baru saja lulus SMA dan hendak merantau, baik untuk sekolah, maupun untuk mencari nafkah (ngo pala atau ngo mbeot lage tacik).
Dukungan dari warga kampung atau tamu undangan tidak hanya dalam bentuk uang atau dana, tetapi juga dukungan moril berupa doa dan nasihat dalam bentuk nyanyian-nyanyian tradisional atau goet-goet (ungkapan).
Kehadiran warga kampung dan tamu undangan saat pesta sekolah merupakan berkat yang sungguh luar biasa. Mereka biasanya memberikan sumbangan secara sukarela ala kadarnya.
Jumlah uang atau dana yang dikumpulkan saat pesta sekolah biasanya diumumkan tengah malam, setelah dipastikan bahwa tidak ada lagi tamu undangan yang hadir.
Sejumlah dana yang dikumpulkan itu bersumber dari beberapa pos masukan, di antaranya, hasil jabat tangan (cau lime) begitu undangan datang dan hasil jualan kepada tamu undangan. Jualan itu misalnya daging babi (sate babi per tusuk), jual tuak atau sopi, dana hasil potongan saat main kartu, jual rokok, dan lain-lain.
Karena konteksnya pesta sekolah atau tampung dana, maka harga jualan di “warung si pemilik pesta” tentu berbeda dengan harga di pasaran umumnya. Misalnya bila harga tuak satu jeriken di pasaran seharga Rp 30 ribu, maka di tempat pesta ini dibanderol seharga Rp 50 ribu per jeriken, bila sopi per botol dijual seharga Rp 30 ribu, maka di tempat pesta ini dijual seharga Rp 60 ribu atau lebih. Begitu juga jualan lainnya.
Saat pesta berlangsung biasanya dimulai oleh MC atau pranatacara dengan menyebutkan mata acaranya seperti, berjabat tangan (cau lime), tuak kapu atau tuak reis, makan dan “acara bebas” alias gosok lantai.
Tuak kapu adalah sapaan (menyapa) dari pemilik pesta (dan kampung) yang disimbolkan dengan tuak (minuman tradisional) kepada undangan.
Ada ungkapannya, misalnya: “Mori, hitut bao ko?” (Tuan, terima kasih karena kalian sudah datang dan menghadiri undangan kami). Lalu dijawab serempak, “Iyo, ite!!”(Ya, Tuan).
Kemudian dilanjutkan, “Mori, ai olo lami tombon, rewengn agu wewa te bantang cama reje lele wie ho’o. Ole ho’o neng mai itet Mori. Bombong keta dami rak, mohas nai. Neho joeng tuka koe, neho tendeng tuka mese. Naka lami neho wua pandang kapu neho wua pau. Te kapu lami ite, mese baild itet mori. Ole, hoo kin tuak dami!” (Tuan, sudah lama kami beri tahu, menyuarakan tentang pesta bersama malam ini. Aduh, kami senang karena tuan-tuan sudah hadir. Hati kami berbunga-bunga. Perut kami ibarat buah joeng dan tending—tutupan wadah tabung penyimpan padi. Kami menyambut kalian ibarat mendapat buah nanas dan mangga [rezeki tak terduga]. Kami mau memangku kalian, tapi kalian lebih besar dan tidak bisa dipangku seperti anak kecil lagi. Oleh karena itu, kami memangku dan menyambut kalian dengan tuak ini sebagai simbol penyambutan dan penghormatan kami).
Setelah juru bicara (biasanya tua adat atau yang dituakan) memberikan tuak, perwakilan undangan menjawab bebas dan mengambil tuak itu, lalu memberikan sejumlah uang.
Setelah tuak kapu, dilanjutkan acara lainnya, seperti nasihat-nasihat dari orang yang dituakan kepada si anak. Nasihat atau petuah-petuah biasa dibawakan melalui lagu-lagu dan kata-kata (go’et).
Ketika semua undangan makan, lalu dilanjutkan dengan acara bebas atau gosok lantai sampai pagi. Gosok lantai adalah sebutan untuk sesi dansa dan joget di kemah pesta itu, diiringi musik-musik, baik musik tradisional, maupun musik modern.
Acara gosok lantai sampai pagi ini jarang diikuti orang-orang tua. Peminat gosok lantai pada pesta sekolah ini biasanya hanya muda-mudi.
Dulu selain untuk tampung dana, pesta sekolah juga dijadikan oleh muda-mudi sebagai ajang cari jodoh. Maka tak jarang banyak muda-mudi menemukan jodohnya di tempat pesta sekolah.
Orang-orang tua dulu (pria) biasa menyebut bisbalar (bisa bawa lari) kepada si perempuan, dan dijawab oleh si nona dengan kata gegerta (gereng gerak tana) atau tunggu hari terang. Bisbalar itu semacam tawaran atau rayuan untuk mengajak si nona untuk berkeluarga.
Dan ketika pagi hari atau subuh terdengar berita bahwa si A wendo wina (bawa anak gadis dari kampung lain sebagai jodohnya ke kampung), dan lain-lain.
Wendo saat pesta sekolah barangkali terjadi karena ada kecocokan sehingga ada kesepakatan antara si nona dan pria, untuk bawa lari (wendo).
Singkat cerita, pesta sekolah tak hanya bertujuan untuk tampung dana, minta doa dan nasihat, tetapi juga ajang cari jodoh bagi muda-mudi.
Itu dulu. Kini zaman berbeda. Kemeriahan dan kesaratan makna dari pesta sekolah pada masa lalu perlahan tergerus oleh perkembangan zaman. Pesta sekolah tidak ramai seperti dulu lagi.
Kini malah pesta sambut baru atau komuni pertama yang lebih ramai, daripada pesta sekolah. Pesta sambut baru (siswa kelas 4 SD yang menerima sakramen komuni pertama dalam tradisi Gereja Katolik) hampir pasti dibuat tiap kepala keluarga di tiap rumah.
Pesta sekolah sudah jarang didengar. Kalaupun ada, undangan yang hadir hanya orang-orang tertentu. Tak banyak yang hadir. Itulah kenapa saya sebut di muka bahwa pesta sekolah perlahan mulai luntur.
Lunturnya makna atau jarangnya pesta sekolah disebabkan oleh beberapa alasan. Setidaknya menurut apa yang saya alami.
Pertama-tama jarangnya dibuat pesta sekolah karena beberapa alasan. Beberapa di antaranya, misalnya, ada oknum yang langsung kawin atau berkeluarga setelah pesta sekolah. Selain itu ada alasan lain, seperti, setelah pesta sekolah ada oknum-oknum yang memanfaatkan dana pesta sekolah tidak untuk melanjutkan kuliah atau merantau, tetapi untuk tujuan lain.
Setelah pesta sekolah ada juga oknum yang tidak merantau, tetapi tinggal saja di kampung halaman dan “tidak berbuat apa-apa”.
Orang-orang Manggarai juga biasa mengenal sebutan kembeluak. Artinya ada oknum-oknum tertentu yang merasa, bahwa pesta sekolah tidak penting lagi, sehingga dia tidak menghadiri undangan dari tuan atau keluarga yang membuat pesta.
Alasan berikutnya adalah tuan pesta dianggap jarang menghargai undangan pihak lain atau malas tahu mengikuti pesta sekolah yang dibuat pihak atau keluarga lain. Semacam hukum sebab-akibat.
Bila dilihat sejarah dan latar belakangnya, pesta sekolah semata dibuat untuk meminta dukungan dari seluruh anggota keluarga di kampung (pa’angn olo ngaungn musi).
Pada masa lalu, di kampung-kampung hanya orang-orang tertentu yang menyekolahkan anaknya. Kepala-kepala keluarga yang menyekolahkan anaknya di bangku sekolah dasar sampai pendidikan menengah dan tinggi atau menyeberangi lautan, bukan semata karena dia orang berada.
Mereka menyekolahkan anak-anaknya itu bisa jadi karena adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan anak-anak. Tentu didukung oleh kemauan dan kemampuan intelektual si anak.
Selain itu, pada masa lalu juga orang-orang yang menempuh pendidikan tinggi sangat langka. Oleh sebab itu, sesama anggota keluarga, pa'angn olo ngaung musi sangat mendukung si anak tersebut, untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Kesadaran itu juga didukung oleh masih tingginya rasa solidaritas dan kekeluargaan antarsesama warga kampung dan lintas kampung.
Beberapa tahun belakangan, hampir pasti sekolah-sekolah dibangun sampai ke kampung-kampung dan kecamatan. Banyak anak yang bersekolah di sekitar kampung halamannya. Daripada pergi jauh-jauh sekolah ke kota kabupaten (Ruteng), mendingan di sini saja. Menyitir lagu lawas, "lebih baik di sini sekolah kita sendiri".
Dampak lain dari kehadiran sekolah-sekolah sampai di kampung dan kecamatan adalah banyak anak yang bersekolah. Hampir pasti tiap keluarga punya anak yang mengenyam pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi.
Barangkali ini juga salah satu faktor sehingga pesta sekolah sangat jarang dibuat. Kalaupun dibuat, undangan hanya sesama warga kampung, bukan lintas kampung seperti dulu.
Pesta sekolah merupakan bentuk dukungan anggota keluarga dan tamu undangan, baik material (berupa dana), maupun dukungan moril (berupa nasihat-nasihat atau pesan dan doa).
Kesemua itu merupakan dukungan tidak terhingga. Apalagi itu bersifat sukarela dan bukan paksaan. Kehadiran wujud tertinggi (Mori Jari Dedek) dan leluhur juga menjadi penting di sini.
Kampung-kampung dan desa di Manggarai pada umumnya, merupakan bagian dari komunitas masyarakat adat global yang memiliki tradisi, budaya, dan seperangkat nilai dalam kehidupan bermasyarakat.
Adat, tradisi, dan nilai-nilai itu diwariskan dalam kehidupan bermasyarakat, dimanapun mereka berada. Tak terkecuali dalam memajukan atau mendukung pendidikan.
Tradisi atau praktik yang diwariskan secara turun-turun dalam masyarakat tadi, yang sebagiannya terejawantah dalam pesta sekolah, merupakan kebiasaan orang Manggarai pada umumnya. Kebersamaan atau kekeluargaan, tolong-menolong dan gotong-royong, serta rasa sosial dan nilai budaya itu, sangat kentara dalam pesta sekolah.
Rasa sosial dan kepedulian terhadap sesama tersebut merupakan bagian dari kebiasaan yang dilakukan turun-temurun. Ini sejalan dengan konsep kebudayaan menurut Ralph Linton (1839-1953) sebagaimana dikutip Aridarmayasa (2018) dalam dps.ac.id (2019). Linton mendefisikan kebudayaan sebagai sifat sosial yang dimiliki oleh manusia secara turun-temurun (Man’s social heredi).
Warisan-warisan dan tradisi seperti di atas patut dijaga dan dilestarikan. Bukan malah melepaskannya dengan dalih modernitas dan legitimasi sikap individualistik dan egosentristik.
Orang-orang tua Manggarai biasa bertuah melalui nyanyian dan ungkapan (go’et) tentang kebersamaan, kekeluargaan, persaudaraan, dan nilai moral lainnya. Beberapa di antaranya, padir wai rentu sai, bantang cama reje leleng, teu ca ambong neka woleng jaong, muku ca pu’u neka woleng curup, dan masih banyak go’et lainnya.
Mengajarkan nilai-nilai kebudayaan pada masyarakat Manggarai melalui goet-goet seperti itu, sedianya mempunyai kemiripan dengan apa yang dilakukan filsuf Tiongkok, Konfusius. Dalam Lyndon Saputra (edit.), Literatur Ajaran Lengkap Konfusius (2002), Konfusius selalu mengajarkan murid-muridnya dalam empat disiplin ilmu, yakni, kebudayaan, tingkah laku, loyalitas, dan itikad baik. Kebajikan Konfusius diperoleh berkat kecintaan pada kebudayaan nenek moyang, kecerdasan, dan kerja kerasnya.
Kepergian atau semacam perutusan pada si anak saat pesta sekolah tadi, kelak juga dilakukan upacara yang sama. Berupa doa dan ritual adat sebagai wali (laporan). Ini menandakan bahwa orang Manggarai meyakini bahwa kesuksesan diraih berkat campur tangan Tuhan, doa dari sesama, dan leluhur. []
#2022
Timoteus Rosario Marten