![]() |
Ilustrasi. Perkampungan dan alam Manggarai, Flores, yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. - Dokpri/naratimo.com |
Upacara we'e mbaru tidak asing bagi orang Manggarai di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Meski sudah lumrah dengan upacara tersebut, tulisan ini tidak untuk mengulas panjang lebar tentangnya. Sekadar “olahraga otak" agar kelak upacara ini dikenang dan tidak digerus perkembangan zaman.
Sebelum menulis artikel ringan ini, saya digelitik oleh sejumlah pertanyaan. Di antaranya, apa itu we’e mbaru? Mengapa orang Manggarai repot-repot membuat upacara we'e mbaru?
We’e mbaru berasal dari kata we'e dan mbaru. We'e artinya pulang atau kembali, sedangkan mbaru artinya rumah.
We'e dan kole berarti sama, yaitu pulang atau kembali. Namun konteksnya berbeda. Biasanya kata we'e diucapkan ketika orang-orang pulang kerja dari kebun pada sore atau petang.
Orang-orang Manggarai zaman dulu tidak punya waktu. Alam dan segala isinya adalah penanda waktu bagi mereka. Ketika berada di kebun, biasanya orang-orang tua mendengar bunyi burung kokak (koak)
Burung kokak ini mengeluarkan bunyi tiga kali. Bunyi pertama adalah tanda persiapan, sehingga harus mulai kemas-kemas. Bunyi kedua siap pulang, dan bunyi ketiga adalah jalan. Semacam aba-aba dalam lomba lari.
Ketika masyarakat Manggarai pulang ke rumah pada sore atau petang hari (mane rep), maka dengan sendirinya kokak tidak berbunyi lagi, sebab pekerja-pekerja di kebun sudah we'e dari kebun.
Itu konteks kata we'e. Sedangkan kole tetap berarti pulang, tetapi biasanya digunakan untuk hal-hal umum, misalnya, pulang kampung (kole beo) saat liburan, dan lain-lain.
Upacara we'e mbaru biasanya dibuat saat rumah baru siap ditempati atau dihuni. Sebelum upacara we’e mbaru biasanya tuan rumah mempersiapkan segalanya, seperti ayam untuk persembahan atau babi dan anjing untuk makan bersama serta minuman (sopi atau tuak raja).
Upacara ini dihadiri keluarga ca kekes atau uku (satu klan) dan tamu undangan lainnya. Mereka dihadirkan untuk bersama-sama menyaksikan ritual tersebut.
We’e mbaru diwariskan secara turun-temurun sejak masa lalu. Hingga kini orang-orang Manggarai tetap membuat ritual we’e mbaru manakala menghuni rumah baru, meskipun mereka berada di daerah perantauan.
Menurut adat-istiadat orang Manggarai, rumah baru yang siap ditempati harus dibuatkan ritual we'e mbaru. Tujuannya sederhana, yaitu, menjauhkan gangguan roh halus dari penghuni rumah.
Dalam kepercayaan orang Manggarai, roh-roh jahat diyakini dapat mengganggu penghuni rumah baru kapan saja. Biasanya mereka mengganggu penghuni rumah melalui mimpi-mimpi buruk, sakit-penyakit, kecelakaan, dan lain-lain.
Tanah, rumah atau kampung diyakini memiliki penjaga atau pemiliknya. Penjaga atau pemilik ini disebut naga tana (penjaga tanah), naga beo (penjaga kampung), naga mbaru (penjaga rumah).
Oleh karena itu, upacara we'e mbaru dianggap penting agar naga mbaru atau naga tana menjadi pelindung atau penangkal roh-roh jahat, yang mengganggu penghuni rumah atau kampung.
Naga tana harus dilibatkan dalam segala aktivitas penghuni rumah. Minimal menyentil nama mereka ketika mulai menghuni rumah baru, agar mereka tidak kaget.
Dalam tradisi Manggarai, kita mengenal apa yang disebut itang agu nangki. Semacam kutukan atau karma. Itang agu nangki biasanya terjadi sebagai akibat dari kelalaian pada ritual adat.
Ketika orang-orang Manggarai lalai atau lupa membuat ritual we’e mbaru, biasanya terdapat tanda-tanda gejala yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. Sakit misalnya.
Biasanya ata peci, ata mata gerak, ata mbeko (dukun) dengan kekuatan supranaturalnya berperan penting dalam hal ini. Dia dapat mengetahui, bahwa sakit itu diidap karena itang agu nangki. Obat-obatan yang dicari dari alam pun hanya pelengkap ketika ritual adat sudah dibuat.
Dalam konteks we’e mbaru tadi, misalnya, jika si pemilik rumah lupa atau tidak sempat membuat ritual we’e mbaru. Di kemudian hari, dia hampir pasti mendapat itang agu nangki.
Meski dalam skala yang kecil, itang agu nangki memang benar-benar terjadi. Tidak masuk akal memang, tapi begitulah budaya atau adat-istiadat.
Biasanya pemilik rumah langsung membuat ritual we’e mbaru begitu rumah selesai dibangun dan siap dihuni. Waktunya ditentukan sesuai kesepakatan dan kesiapan. Sesuai kesepakatan bersama.
Namun tidak sedikit juga yang lalai atau mungkin tidak sempat membuatnya karena situasi tertentu. Ketika mendapat itang agu nangki baru dibuatkan ritual we'e mbaru. []
#2022
Timoteus Rosario Marten