Tulisan ini merupakan bentuk syukur kepada Tuhan Allah, Bapa berhati ibu, dan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu saya, hingga buku kumpulan puisi Gita Cinta untuk Natalia (2021) hadir di hadapan publik.
Sebelum bertolak lebih dalam, saya membagikan sedikit lika-liku penulisan dan peluncuran buku sederhana ini. Awalnya saya pesimistis bahwa buku ini bisa diterbitkan.
Keraguan saya beralasan. Bahkan sangat sederhana. Empat alasan kiranya membuat langkah kaki saya masuk akal untuk tidak percaya diri (PD) menulis buku.
Pertama, buku ini hadir di tengah situasi pandemi virus corona (covid-19). Situasi pandemi sejak akhir 2019 dan awal 2020 di Indonesia membuat warga dunia dicekik.
Media massa dan media sosial kebanjiran berita dan informasi tentang covid-19. Ribuan bahkan jutaan manusia meninggal akibat virus ini.
Dampak lainnya adalah banyak orang yang terpaksa bekerja dari rumah atau work from home (WFH), mengikuti protokol kesehatan setelah adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak awal Januari 2021–mikro, darurat, hingga level 1 sampai level 4–dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kecuali itu, banyak pekerja yang memilih pulang kampung daripada bertahan tanpa pekerjaan di kota akibat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sekitar 2,8 juta karyawan atau tenaga kerja di Indonesia di-PHK akibat pandemi covid-19. Demikian data Kementerian Tenaga Kerja RI per 20 April 2020.
Bahkan banyak orang yang banting setir. Mereka memutar otak untuk bekerja dan bertahan hidup. Tentu dengan semangat ora et labora (berdoalah dan bekerjalah);
Kedua, minat baca orang Indonesia rendah menurut riset UNESCO tahun 2016. Riset ini mengindikasikan bahwa orang Indonesia yang membaca tidak sampai lima orang per tahun. Riset Central Connecticut State University, Maret 2016, bertajuk “World’s Most Literate Nations Ranked juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara perihal membaca.
Meski demikian, banyak pihak yang "meragukan" bahwa minat baca orang Indonesia rendah. Orang Indonesia bukan hanya masyarakat kota di Pulau Jawa-Bali dan Sumatera, melainkan juga tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Maman Suherman atau Kang Maman dalam sebuah webinar kepenulisan atau penulis dan Duta Baca Indonesia, Gola A. Gong misalnya, berpendapat bahwa akses dan tingkat kemahalan harga buku sedianya menjadi alasannya. Bukan minat baca rendah.
Sebenarnya minat baca masyarakat Indonesia tinggi. Namun akses ke kota atau toko-toko buku dan perpustakaan begitu jauh. Di Papua misalnya. Akses ke kota begitu susah. Hanya dengan jalan kaki, melalui laut atau pesawat. Sudah begitu harga buku juga mahal.
Beberapa tahun lalu, kawan saya wartawan Jubi bercerita, masyarakat di wilayah pegunungan terpaksa memfotokopi koran Jubi, karena stok habis terjual. Hal ini didorong oleh rasa ingin tahu begitu kuat tentang Papua di panggung global dan semangat membaca yang menggebu-gebu. Maka trada koran, fotokopi pun jadi;
Ketiga, ini zaman digital, zaman ponsel pintar, zaman medsos. Banyak orang memilih ponsel pintar atau bermedsos daripada membaca buku. Bayangkan, 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget atau gawai. Emarketer (2018) dalam risetnya menyebutkan lebih dari 100 juta penduduk Indonesia adalah pengguna aktif ponsel pintar.
Tengok saja di jagat maya. Pengguna media sosial yang diakses dari ponsel pintar semakin ramai. Impaknya banyak pekerjaan baru tercipta. Sebut saja youtuber, blogger, selebgram, tiktoker, dan lain-lain. Influencer atau konten kreator semakin banyak;
Keempat, baru pertama kali. Dari tiga alasan sebelumnya, kiranya alasan ini masuk akal untuk tidak PD menulis buku, mengingat sebuah langkah pertama memang sangat berat. Apalagi banyak faktor pendukung lainnya. Yah, begitu sudah!
Keempat alasan di atas akhirnya runtuh seketika tatkala saya merefleksi. Ketika itu muncul pertanyan dari dalam lubuk hati terdalam sambil dengan rendah hati berdoa. Pertanyaan itu adalah “gas ko rem” lantas segera dijawab “gas saja kaka Timo, barang apa jadi? Ai mama sioo.Buku kumpulan puisi Gita Cinta untuk Natalia adalah buku perdana saya dan diterbitkan oleh penerbit Cleon, Yogyakarta. Setelah proses cetak selesai beberapa bulan lalu, tepatnya akhirnya Desember 2021, dengan stok terbatas, akhirnya buku sederhana ini hadir di hadapan pembaca.
Tiba-tiba saja saya teringat nukilan filsuf Tiongkok, Lao Tzu (570-470), yang hidup pada masa Dinasti Zhou. Nukilan itu saya temukan pada buku TTS (Teka Teki Silang) beberapa tahun lalu, yakni, “perjalanan ribuan mil dimulai dengan langkah pertama.”
Lalu diluncurkan secara daring pada saluran youtube Kaka Emil, Jumat, 29 April 2022. Peluncuran dilakukan secara daring karena alasan praktis dan masih pandemi.
Saya memilih saluran ini juga karena sebelumnya dua penulis muda Papua, Manfred Kudiai dan Ester Haluk meluncurkan karyanya pada saluran milik penulis novel Mawar Hitam Tanpa Akar (2009) dan peserta Ubud Writers and Reader Festival 2012 ini.
Terima kasih untuk para pemateri dan moderator yang telah meluangkan waktunya dalam peluncuran buku perdana saya. Mereka adalah orang-orang hebat di bidangnya.
Ada moderator/pemilik saluran dan novelis perempuan pertama Papua, Aprilla R.A. Wayar, yang menulis novel Mawar Hitam Tanpa Akar (2009), Dua Perempuan (2013), Sentuh Papua (2018), Tambo Bunga Pala (2021), serta Hutan Rahasia (2020).
Sedangkan pematerinya adalah Ratna Ayu Budiarti—penulis novel, puisi, artikel, dan peserta Ubud Writers and Reader Festival 2012.
Beberapa buku karya Mbak Ratna, antara lain, Dusta Cinta (2008), Surat Menjelang Lepas Lajang (2011), The Untold Stories (2012) dan beberapa buku lainnya.
Selain itu pemateri lainnya adalah Dr. Fransiskus Borgias, MA—dosen filsafat dan teologi pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung, penulis sejumlah buku, artikel, cerpen, puisi, penerjemah, editor sejumlah buku dan blogger.
Tiga dari banyak buku yang ditulisnya, antara lain, Manusia Pengembara, Refleksi Filosofis Tentang Manusia (Jalasutra, 2013), Saat-Saat Terakhir Hidup Yesus Menurut Yohanes (Fidei Press, Jakarta, 2012), dan Catatan Harian Seorang Pastor Desa. Dialog Imajiner dengan P. Flori Laot, OFM (Jakarta: JPIC-OFM Indonesia, 2011).
Dan pemateri terakhir adalah aktivis perempuan Papua dan penulis buku kumpulan puisi Nyanyian Sunyi (Yogyakarta, 2021), Kaka Ester Haluk.
Bila ada yang terpikat dengan foto sampul Gita Cinta untuk Natalia, itu adalah hasil bidikan lensa dari jurnalis yang humoris asal Sentani, Jayapura, Kaka Yauw Engel Wally. Monom soso dolo. Hehehe.
Akhirnya, Gita Cinta untuk Natalia sedianya dapat menginspirasi pembaca. Tentu buku ini jauh dari kata sempurna, sehingga saya dengan rendah hati menerima setiap kritikan dan masukan konstruktif. Semoga semakin banyak anak Indonesia timur, khususnya Papua yang mengekspresikan kreativitasnya melalui karya sastra. Amin. []
#2022
Timoteus Rosario Marten