02/05/2022

Ketika pak guru itu pergi

02/05/2022

Kematian guru
Pixabay

Ketika orang-orang berpakaian necis itu mendekat, mereka menemui petani-petani yang sedang menanam padi (rede). Benar saja saat itu musim tanam pada awal tahun (cekeng). 


Rupanya mereka yang perlente ini dari kota. Mereka mengadakan perjalanan jauh ke arah barat.


Satu dari beberapa masyarakat kampung yang mereka temui sedang berjalan di pematang sawah, dekat jalan trans-Flores, membawa ikatan bibit padi (elong bibit).


Orang-orang kota itu tentu saja kebingungan. Di sekitar sini simpang empat. Maka mereka tidak tahu ke mana arah jalan yang dituju. Lagian tidak ada kompas atau semacamnya.


"Bapa, dimana jalan ke Labuan Bajo e?" Tanya seorang dari pemuda-pemuda necis tadi.


Pak tua yang sedang membawa bibit padi ini bingung. Dia tak memahami apa yang ditanyakan. Lalu dia meminta mereka mengulangi pertanyaannya.


"Dimana jalan ke Labuan Bajo?"


Dengan polos dan napas satu-satu, pak tua ini menjawab.


"Sendiri di bibit," jawabnya dengan percaya diri. 


Orang kota itu semakin bingung. Dia tak mengerti apa maksud jawaban pak tua, yang sedang membawa bibit padi. Tidak malu bertanya sesat di jalan.


Si bapak mengira pertanyaannya adalah apakah bibit padi ini milik sendiri ataukah milik orang lain.

 

Kami pun tertawa terbahak-bahak. Satu kelas riuh meski siang itu pelajaran matematika. 


Tak terasa, tertawa kami berbarengan dengan lonceng istirahat atau bersenang. Anak-anak kelas 6 SD (Sekolah Dasar) ini tak puas ingin mendengar kelanjutannya. 


Tapi ceritanya terhenti di sini. Terhenti pada "pertanyaan dimana jalan ke Labuan Bajo" dan jawaban "sendiri di bibit".


Jokes tadi adalah cerita dari guru kami. Guru dan kepala sekolah. Metode cerita atau selingan dengan cerita lucu, adalah bagian dari strateginya agar pelajaran tidak membosankan. Apalagi pelajaran eksakta atau matematika. 

Anak-anak memang senang mendengar cerita. Lebih senang lagi jika cerita itu menimbulkan gelak tawa. Bikin rileks, beban pelajaran hilang, beban menunggu waktu istirahat atau pulang juga hilang.


Guru dan kepala sekolah yang memberi kami cerita itu tadi adalah Yohanes Bong. Biasa dipanggil Bapa Yan atau Pa Yan. 


Sebelum pensiun Bapak Yan adalah guru atau penilik. Dia pernah menjabat kepala sekolah di beberapa sekolah di Desa Ketang dan Lentang, Kecamatan Lelak, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. 


Dia adalah sosok guru, mantan kepala sekolah, dan tokoh terpelajar yang disegani di kampung dan desa kami. Dikenal juga karena memiliki kepedulian terhadap kehidupan sosial dan menggereja. 


Kami segera mengetahui siapa pemimpin atau yang angkat lagu, ketika misa atau ibadat sabda hari Minggu di gereja paroki. Itu pasti Bapa Yan. 


Orang-orang di kampung mengenal Bapak Yan sangat pintar. Dia jebolan seminari. Dia dan beberapa temannya adalah orang pertama dari kampung halaman kami, yang lolos testing masuk seminari Kisol, Manggarai Timur.


Dia juga punya jiwa humor. Jago maen bola. Sebenarnya masih banyak cerita dari beliau yang bikin terpingkal-pingkal. Stok ceritanya tra pernah habis saat mengajar di kelas atau bersenda gurau dengannya. Setidaknya menurut kesan saya. 


Maka ketika pak guru itu pergi untuk selamanya atau pulang ke rumah Bapa di surga, kisah-kisah tentangnya akan menjadi kenangan. 


Sabtu dinihari, 24 April 2021, beliau dibawa ke rumah sakit. Namun, nyawa bapak empat anak ini tak tertolong, karena maut lebih memeluknya erat-erat. 


Dia meninggal setelah mengalami stroke beberapa tahun sebelumnya. RIP Pak Guru. Hodie mihi cras tibi. (*)


#2022

Timoteus Rosario Marten

Tulisan ini diolah dari postingan saya di facebook pada 24 April 2021. Diposting dalam rangka Hardiknas 2 Mei 2022



Show comments