17/05/2022

Dari tana dewa ke pulau surga

17/05/2022

kuta bali naratimo foto
Kuta, 27 April 2013 - Dokpri

Suhu udara di kawasan bukit panas. Desa Ungasan setenang ketika saya pertama kali ke Buddha Hill bersama Arnoldus, Tarsisius, dan Narsi, Juli 2014. Sebentar lagi saya meninggalkan tempat yang tak jauh dari pantai Pandawa, Dreamland dan Garuda Wisnu Kencana atau GWK Park ini. Berkejaran dengan waktu dari tana dewa menuju pulau surga di tanah timur.


Siang itu, lima belas Januari, dua ribu lima belas. Merujuk pada musim negara Indonesia, Januari sebenarnya musim penghujan. Tapi rintik hujan seakan canggung jatuh bersama mentari. Mungkin saja ia malu pada rumput yang menari dan semak yang makin hijau.
 

Pukul tiga belas waktu Bali, adik saya, Tarsisius, datang menjemput saya di bukit ini. Kami mau ke Pulau Moyo, kawasan Sesetan, Denpasar.

Laju motor bebek tak sebanding dengan angin yang bertiup kencang. Namun waktu mengantar kami dalam damai. Sebentar lagi lonto leok. Ini adalah tradisi bertemu sesama sanak famili. Juga semacam perpisahan sederhana.

Sanak famili sekampung, meski tak sampai sepuluh orang, berdatangan di rumah indekos Sebastianus Gersoni, di kawasan itu. Om Adrianus sudah sedari sore menunggu. Sedangkan Alfi, Eduardus, Fian, dan Kaka Albertus, serta Arnoldus dan Angel pacarnya datang saat petang. Kami kemudian makan bersama dalam kesederhanaan.

Hingga waktu berputar menjelang dini hari kami meneguk bir. Bersulang untuk persaudaraan dan perpisahan.

Minum bir itu menjadi semacam tradisi tiap pertemuan. Memang begitu adanya. Apalagi ini Bali, kawan!

Waktu pun terus berdetak hingga hari baru tiba. Enam belas Januari, pukul empat sore saya harus check in di bandara Ngurah Rai, Denpasar. Menurut jadwalnya, waktu keberangkatan (departure time) pukul enam sore. Maka butuh tiga jam menunggu di bandara setelah saya mencetak tiket di salah satu konter.

Di luar pintu masuk ruangan check in ada smoking area. Sembari menunggu Singa Udara tiba, saya dan adik Sebastianus Gersoni mengepul asal di area ini. Bersama sejumlah perokok aktif lainnya. Nikmat dibarengi tawa bersama jejak yang terukir di pasir, dan tiap sudut Pulau Dewata.

Sekilas menuju titik terparah dan terindah kisah saya. Berbagai cerita dan pesan-pesan moral sebuah perjalanan adalah sebuah keniscayaan. Bahwa setiap jejak kaki adalah cerita bermakna. Susah dan senang. Untuk itulah kehidupan itu direfleksi kembali.

Hingga pukul empat kami berpisah di tengah kerumunan dan penumpang yang berjubel. 

Hanya derai cerita dan kisah mengenang membekas. Ingatan tentang Papua masih terpatri.

Hingga pukul delapan tiga puluh menit, malam, Singa Udara lepas landas. Saya menuju Jakarta. Transit.

Kerlipan cahaya Pulau Dewata mengiring pergi. Sunset di pantai Kuta tak tampak lagi, seperti ketika saya menunggu di ruang tunggu.

Sementara Singa Udara terus melangit. Menembus malam. Bumi pulau dewa tak tampak lagi. Enam puluh menit lagi di atas ribuan kaki saya tiba di mama kota.

Di sini hujan tak kenal ampun. Bandara Internasional Soekarno-Hatta basah. Terminal 1, ruangan keberangkatan Jakarta-Jayapura, terasa dingin. Lalu saya mencari songke.

Itu kain tenunan Manggarai pemberian mama saat merantau dulu. Begitulah tradisi kami. Tiap anak yang merantau hampir pasti membawa serta kain tenunan songke. Kemanapun mereka pergi, maka songke dibawa serta.

Selain untuk menghangatkan badan di tanah orang, salah satu warisan tradisi untuk belis, membawa serta kain songke ini diandaikan bahwa bahwa orang tua, sanak famili, dan tanah tumpah darah selalu melindungi langkah kaki si anak rantau.

Saya tertidur persis di bawah lukisan permainan caci dan komodo, di dinding ruangan tunggu itu. Hangat dalam bungkusan songke.

"Mmm, kok lukisan ini bisa ada di sini, ya?"

Begitu pertanyaan saya, Kamis malam, 27 Maret 2014, sepulang Lokakarya Wartawan Meliput Daerah Ketiga di Mama Kota. Praktis ingatan akan pertanyaan itu mendarat lagi, Jumat malam, 16 Januari 2015.

Permainan caci dan songke memang warisan leluhur di tanah air beta, tanah yang memperkenalkan saya pada peradaban, budaya dan kecerdasan lokal. Itu adalah sebagian dari banyaknya warisan leluhur dan kekayaan Bumi Congkasae.

Komodo juga—salah satu dari tujuh keajaiban alam dunia. Binatang purba dengan nama ilmiah Varanus Komodoensis ini hanya ada di tanah kami.

Maka ketika saya menatap lukisan itu, malam ini, apalagi di bandara ibu kota negara Indonesia, rasa bangga dan bersyukur sontak mengusir kantuk. Mmm, sampai di sini.

Pengumuman menggema di tiap sudut ruangan tunggu. Singa Udara membawa saya menuju Jayapura, ke pulau surga atau negeri cenderawasih.

Tanah yang dilimpahi susu dan madu inilah yang mengajarkan banyak hal tentang hidup dan kehidupan saya. 

 

Di sini, di dunia yang sarat tantangan dipertaruhkan; dunia jurnalistik. Di sini, dunia jurnalisme, dunia yang orang bilang "kombinasi antara ilmu dan seni" dimulai lagi, setelah enam tahun lalu dijejaki. []

#2022
Timoteus Rosario Marten – Tulisan ini di-posting pada laman facebook,  17 Mei 2015 dengan judul “Good Bye Pulau Bali” dan diolah seperlunya

Show comments