24/04/2022

Ekspedisi Papua dan peran misionaris Katolik gelombang pertama di Papua selatan

24/04/2022

Salju abadi
Salju abadi Cartenz - Dok. Penulis

Oleh: Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM, biarawan Fransiskan Papua


Tahun 1498 Vasco da Gama berkeliling benua Afrika dan tiba di India. Dan Ferdinand Magelhaens berkeliling bumi pada tahun 1521 melalui Amerika, berlayar di samudra Pasifik dan Hindia. 
Penjelajahan ini menjadi suatu peradaban yang terbuka luas dan manusia mengadakan hubungan satu dengan yang lain. Pelayaran pada mula berlayar sangat [jauh] dari pulau Papua. Salah satu pelaut yang kembali dari Maluku ke Mexico adalah D’Abreu (1511). Ia melewati pulau Papua bagian utara.


Ada juga pelaut lain yang bernama Ortiz de Retes yang berlayar sampai mendekat dan mendarat dekat muara Sungai Mamberamo dan memberikan sebutan untuk orang Papua dengan sebutan “Nuova Guinea”. (bdk. A. Dpeyrat, MSC, Papouasie histoire de la mission 1885, hlm 16-18). Kurang lebih ekspedisi pelayaran yang terjadi pada abad XVI.


Di kemudian hari datanglah seorang yang menyelidiki keadaan di sekitar Papua. Ia bernama Torres yang melakukan perjalanan pada tahun 1606. Ia menemukan Samudra Australia yang bersebelahan dengan pulau Papua. 


Tujuh belas tahun kemudian (1623), dalam perjalanannya di pesisir, ia melihat salju abadi di Cartenz, yang berada di pegunungan bagian pedalaman Papua.


Pada tahun 1770 Kapten Cook melakukan perjalanan dan berhasil sampai ke Sungai Digul. Mula-mula sungai ini diberi nama Sungai Cook. (bdk. W.C. Klein, Nieuw Guinea, Jilid I, 1953, hlm 7). Dari semua perjalanan ke Papua, belum ada perhatian khusus untuk membangun pos di Papua saat itu.


Pada abad XIX negara-negara Barat mulai mengadakan perjalanan, untuk merebut daerah-daerah baru sebagai bagian jajahannya dan untuk memperkuat perdagangan rempah-rempah. Maka Belanda mulai menduduki bagian timur - barat Papua pada tahun 1824. 


Bagian utara dari Papua diberikan kepada Jerman. Kerajaan Inggris di bagian selatan dari Papua. Hal ini terjadi pada tahun 1888. Keputusan resmi tentang wilayah perbatasan di antara timur-barat Papua baru diambil pada 16 Mei 1895, pada batas garis 141 BT. (Red. Nieuw Guinea, Jilid I, hlm 21-29). 


Pada tahun 1898 pemerintahan Belanda membuka pos di Manokwari dan Fakfak. Namun berbeda dengan usaha membuka pos di daerah selatan Papua (Merauke) yang sudah terjadi lebih awal, yakni pada tahun 1892. Usaha pada prinsipnya gagal atau tidak berhasil.


Misi Gereja Katolik untuk mewartakan Injil Kristus kepada sesama yang lain, mulai menjadi nyata. Hal ini ditandai dengan perkembangan dunia yang terbuka luas. 


Namun pada abad XVII kenyataan itu menjadi kendor. Pada waktu yang sama Gereja Protestan mulai berkembang secara pesat. 


Perkembangan ini terjadi di Inggris dan Amerika. Dari sinilah mereka mulai melancarkan misi Protestan ke belahan dunia yang lain (termasuk Papua). 


Pada akhirnya Gereja Katolik menjadi sadar untuk membangun kembali misi ke belahan dunia yang lain. Semangat baru ini didorong oleh semangat umat setempat yang mempunyai perasaan nasional. Hal tersebut mulai terjadi pada abad XIX.


Waktu inilah Papua menjadi bidik misi Katolik untuk mewartakan kabar baik. Dan saat yang sama Papua masuk dalam “Sejarah Gereja”. 


Pada saat itu Kongregasi Propaganda Fidei mulai mengatur Misi Katolik di Asia Tenggara dan Pasifik. Maka pada 19 Juli 1844 Paus Gregorius XVI mengeluarkan sebuah Bulla Kepausan dengan nama Ex Debito Pastoralis untuk membentuk dua Vikariat bernama Melanesia dan Mikronesia. Wilayah ini terbentang 125 BT sampai pada 160 BB. 


Daerah-daerah tersebut meliputi Nova Guinea (Papua), Tobia, William, Schouten, Duo Vesset, Timollant, Arriou, Amiraute, Pulau Biak,  Pulau Japen, Waigeo, Tanimbar, Aru dan Kei. Dengan melihat nama-nama wilayah ini, dapat dikatakan Gereja Katolik ingin bekerja di Papua serta pulau-pulau sekitarnya (Bdk. Annalan, MSC, 1898, Surat Perjalanan ke Rabaul, Ketika Berlayar Melalui Kepala Burung).

Katolik
Dok. Penulis

Pada tahun 1881 diminta kepada Missionarii Sacratissimi Cordis (MSC) untuk berangkat ke kedua wilayah vikariat yang baru itu. Dalam perjalanan yang begitu lama, mereka datang melalui Filipina dan seterusnya ke Batavia (sekarang Jakarta). Tujuan mereka melalui daerah-daerah tersebut, supaya dengan mudah dapat ke Papua. 


Namun sampai di Jakarta pada 1882 rombongan misionaris MSC ini mendapat penjelasan dari Uskup Jakarta bahwa Uskup berwenang atas segala kepulauan di Indonesia yang berada dalam pemerintahan Belanda, maka Papua merupakan bagian dari keuskupan Batavia saat itu (Ikhtisar Kronologis Gereja Katolik Irian Barat Jilid II, hlm. 30).


Para misionaris MSC itu kembali ke Filipina, dan meneruskan perjalannya ke Australia. Kemudian pada 30 Juni 1884, pater pertama mendarat di Pulau Papua, dia adalah Pater Henry Verjus, MSC. Ia mendarat di Yule Island (PNG) tidak jauh dari Port Moresby. 


Sementara itu para misionaris Serikat Jesus (SJ) pada tahun 1888 telah membuka pos misi Katolik di Kei (Maluku Tenggara)


Dengan keputusan tertanggal 11 Juli 1891 pemerintah pusat telah memberi izin untuk misi Katolik dapat mewartakan Injil di Papua, maka pada tahun 1892 diadakan perjalanan ke daerah selatan Papua yang dilakukan oleh Pater C. Vander Heiden, SJ. Namun usahanya gagal, karena kapal yang ditumpanginya mengalami musibah. 


Pada tanggal 28 Mei 1894 Pater Le Cocq d’Armandville, SJ menginjakkan kaki untuk pertama kali di Tanah Papua, tepatnya di kampung Sekeru (Fakfak, Papua Barat). Setelah sampai di Papua, ia mulai berkontak dengan penduduk setempat. 


Ternyata Sekeru tidak dapat disebut sebagai kampung (saat itu). Gubuk-gubuk warga berdiri agak jauh satu dengan yang lain.


Pater Le Cocq d’Armandville, SJ, mulai mendaki pegunungan dengan tujuan mencari warga yang tinggal di daerah itu. Pada umumnya daerah itu tidak terlalu terjal untuk didaki, sudah ada jalan-jalan yang dibuat oleh warga setempat. 


Perjalanannya ke daerah pegunungan Fakfak tidak membuahkan hasil yang baik. Ia sendiri jarang bertemu dengan warga setempat. Akhirnya pada malam hari, ia memutuskan untuk kembali ke wilayah pantai. 


Di situlah ia bertemu dengan beberapa orang yang sedang duduk bercerita. Ia sendiri mulai menggabungkan diri dengan mereka, lalu mulai berbicara tentang Tuhan dan karya keselamatan-Nya. Baru satu hari di Papua, tepatnya di Sekeru, Pater Le Cocq d’Armandville, SJ, sudah membaptis 8 anak, disusul 65 lagi selama 9 hari berikutnya (Bdk. R. Kurris, SJ, Sang Jago Tuhan, hal. 60). 


Selain kampung Sekeru, Pater Le Cocq d’Armandville, SJ juga berkarya dan tinggal di Bomfia. Dikisahkan bahwa Pater Le Cocq d’Armandville, SJ meninggal tenggelam diterpa ombak besar di Pantai Mimika pada 17 Mei 1896. 


Pada waktu cuaca di daerah pantai Mimika tidak bersahabat, Pater tetap memaksa diri untuk pergi ke pantai untuk bertemu warga. Tujuannya ke pantai untuk membayar utangnya kepada warga dan menjemput anak-anak yang akan dibawa ke Kapaur untuk sekolah. Namun di saat seperti ini, situasi berkata lain.


Medan pastoral yang masih begitu luas, yang mencakup seluruh VIkariat Jakarta. Maka pada 22 Desember 1902. Vikariat Jakarta terpisah dari Prefektur Apostolik Nederlands-Nieuw Guinea yang berpusat di Langgur - Kei Kecil. Papua merupakan bagian dari Prefektur yang baru ini. 


Rombongan MSC yang pertama tiba di Langgur pada 28 November 1903. Mereka itu adalah Pater M. Neyens, MSC (dia adalah Prefektur Apostolik Nederland – Nieuw Guinea yang pertama) dan Pater H. Geurtjens, MSC. 


Dari tangan para misionaris SJ ini, orang Katolik di Kepulauan Kei sebanyak 1.118 orang, dengan 9 guru yang mengajar 200 murid sekolah. (bdk. “Data-data pribadi yang dikumpulkan oleh Pater G. Zegwaard, MSC dan Pater A. Vriens, MSC, 1984). Dengan segera Prefek M. Neyens mengunjungi Papua (Merauke dan Fakfak), pada tahun 1904. 


Di Merauke sendiri pemerintah telah membuka tempatnya pada 14 Februari 1902 dan Asisten Residen Kroesen ingin agar daerah selatan Papua dilayani oleh misionaris Katolik. Bersambung. []


Show comments