22/03/2022

Kopi dan saya punya muka

22/03/2022

Kopi
Ilustrasi - dokpri

Kopi Flores macam mana pula? Barangkali begitu pertanyaan yang terlintas, ketika tak mengetahui asal mana kopi arabika racikan dengan khas Flores tersebut.


Deretan nama kopi dalam daftar menu pada sebuah kafe di Jalan Ahmad Yani, Banjarbaru. Namanya Big Cafee. Berhadapan dengan Polres Banjarbaru. Sekitar 40 kilo dari Banjarmasin. Sebelah tenggara ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan.


Sangat ramai di sini. Barangkali karena tak jauh dari tempat nongkrong anak muda, di seberang jalan di depannya.


Orang-orang dari berbagai stratifikasi sosial ada. Sekadar menyeduh kopi atau diskusi.


Kami bercerita dan berkisah. Wawancara teman-teman dari LSM lingkungan di Kalsel.


Kembali ke kopi. Pada daftar menu, ada deretan nama. Kopi Flores, kopi Wamena, kopi Timor, kopi Toraja, dan kopi lainnya. 


Sejenak saya teringat pada kampung halaman. Nun jauh di seberang lautan. Di tenggara timur.


Teringat pada proses menjadikan sebuah minuman bernama kopi itu. Dari tanam, berbunga, berbuah, memetik hingga "bakalai" dengan luwak, karena kalau terlambat dipetik pada semester kedua saban tahun, maka gerombolan luwak akan memakannya, hingga bijian terkupas dan bertumpuk di bawah pohon robusta, yang menjulang sekitar dua meter pada kemiringan sekitar 45 derajat 


Kopi nan menghijau dan memerah darah. Seperti menyiratkan harapan dan keberanian. Hingga pada hitam bercampur manis dalam cangkir. Nikmatnya.


Kabut tebal menyelimuti Kota Seribu Sungai pada Jumat siang menjelang sore, 21 Maret 2014. Dari penginapan di Jalan Ahmad Yani Km 5,7, Banjarmasin, tadi saya meluncur dengan ojek. Kehujanan. Basah.


Namun, kopi panas mengusir kedinginan karena kuyup. Ditambah asap yang membumbung. Seakan asap mengundang inspirasi.


Nun jauh dari timur terjauh, Papua, saya datang ke Mama Kota. Belajar bersama sembilan kawan di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) Jakarta. Lalu menuju Banjarmasin untuk kembali ke sana mempresentasikan liputan selama dua hari. Hingga pulang ke dalam pelukan negeri matahari pagi bila usai.


Kemarin saya dikira orang Amerika di sini. Entah bercanda atau memang potongan muka saya yang pasaran. Ahai, bisa jadi.


"Kamu orang Amerika, ya?"


Kata narasumber membuka percakapan, saat saya menyambanginya di ruang dosen. Dia Pembantu Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin, Kalimantan Selatan.


Pembuka wawancara kami di Kampus Unlam, Banjarmasin ini, jadi cair. 


"Hehehe,, bukan Pak," saya menjawabnya.


Saya lalu melanjutkan wawancara terkait kajian ilmiah dan upaya Unlam soal maraknya illegal mining dan illegal logging, serta kerusakan lingkungan di Banjarmasin.


Catatan refleksi malam ini, 21 Maret, tentang kopi flores dan orang Amerika, membuat saya berupaya mengingat kembali catatan-catatan lusuh, tentang kesan serupa. Kesan kawan-kawan dan siapa pun yang saya jumpai, terutama kesan mereka tentang muka saya, yang pas-pasan dan pasaran ini.


Tahun sebelumnya, 19 Maret 2013, ada empat anak SMP. Kami bincang-bincang di sebuah warung dekat sekolah di Kota Jayapura.


Tiga dari empat anak ini mengira bahwa saya adalah orang Biak, sebuah pulau dan kabupaten di bagian utara Papua. Sedangkan satu lainnya mengatakan bahwa saya orang timur. Timur di sini merujuk pada Flores, Sumba, Timor (plus RDTL).


Tiga kawan ini ngotot bahwa saya orang Biak. Mereka tidak percaya. Dalam hati saya bilang, yang punya muka itu kamorang atau saya?


Kawan wartawan pada suatu kesempatan juga tertipu dengan muka saya. Dia mengira saya orang Fakfak, daerah penghasil pala di kawasan selatan Papua Barat. Daerah asal Komika jebolan Kompas SUCI 7, Mamat Alkatiri. 


Kawan lainnya juga pernah mengira saya orang Serui. Begini ceritanya. Kami baku kenal usai Ngopi Jahe Bawaslu Kota Jayapura, 2019 lalu.


Kami ngobrol-ngobrol. Bersama beberapa kawan wartawan. Kebetulan saya pernah meliput mereka punya kegiatan.


"Kaka ko orang Serui, to?" Tanya kawan itu kepada saya. 

"Beh, sa orang Timur mooo," jawab saya disertai gelak tawa.

"Iyo e, sa kira orang Serui. Ini juga orang Timur," katanya sambil memperkenalkan teman perempuannya.

"Iyoo Kaka, sa orang Maumere," jawab nona itu dengan tersenyum.

"Ooo, salam kenal nona."


Ada cerita lain juga tentang muka saya, yang pasaran ini. Suatu ketika di sebuah warung di Jayapura, usai makan. 


"Ite inung apa, nana (kamu mau minum apa, nana)?" Tanya si nona kepada kawan saya, yang kebetulan dia kenal baik.


Saya diam saja. Sambil menunggu tawarannya. Saya memang tak berusaha, untuk berkomunikasi dengan bahasa daerah. Beberapa detik kemudian, nona itu merapat.


"Bapak minum apa?" 

"Ta enu, teh kat eee (Teh saja nona)." 


Nona ini kaget. Dia ketawa setengah mati. Saya juga ketawa. Sekadar merilekskan suasana panas siang itu.


"Kenapa ketawa, nona?"

"Padahal kakak orang Manggarai."

"Aeh, saya orang Papua. Kebetulan bisa berbahasa Manggarai karena memang saya sekolah di Flores," saya menjawab sambil memberikan dia senyuman.


Demikian mozaik-mozaik pengalaman saya, yang saya tulis setelah diracik lagi dari kiriman memori facebook. Dari kopi Flores, orang Amerika, hingga orang Papua. 


Entahlah pesan apa yang mau disampaikan kepada sidang pembaca. Saya cuma tulis di sini. Sekadar mengundang tawa dan berefleksi. Masuk lebih dalam ke dalam diri. 


Saya jadi teringat peribahasa Latin dalam buku saku sampul biru, yang dirangkum guru bahasa Latin dulu, Pater Alo Mitan SVD, "Nosce Te Ipsum" (kenalilah dirimu), yang konon merupakan sebuah tulisan di gerbang kuil Dewa Apollo di Delphi, Yunani.  


Ups, apa kaitannya dengan saya punya muka e? Ai mari minum sudah. Nikmati kopi flores, kopi wamena, kopi timor, kopi moanemani, kopi oksibil, kopi toraja, kopi kapal air, dan kopi-kopi lainnya. []



#2022

Timoteus Rosario Marten

Show comments