Ilustrasi orang berdialog - Foto: Pixabay |
Suatu ketika Kundus ditelpon mamanya dari kampung halaman, untuk sekadar menanyakan kabar sang buah hati. Karena ibunya tidak berbahasa Indonesia, maka bahasa daerah alias bahasa ibu adalah bahasa komunikasi keduanya saat itu.
Setidaknya begitu pemikiran sang mama terhadap anaknya yang sudah lama merantau di kota besar. Di luar dugaan, mama mendapat jawaban yang kurang ajar. Kundus menjawab sapaan mama di ujung telepon dengan bahasa Indonesia kebarat-baratan.
Sang mama terus menanyakan keadaan dan segala hal terkait sekolahnya di kota. Namun, Kundus tetap menjawabnya dengan bahasa lain, bukan bahasa ibunya. Tidak ada titik temu. Lalu telepon putus.
Saya teringat sebuah cerita lagi. Seorang pemuda desa tinggal nun jauh di benua biru. Lama nian di sana hingga menikahi gadis idaman di sana.
Di dalam rumah, mereka hanya berkomunikasi dua bahasa, yaitu bahasa daerahnya – bahasa ibu dan bahasa nasional negara itu.
Peraturan berkomunikasi dengan dua bahasa wajib hukumnya bagi semua anggota keluarga. Namun, ketika berada di luar rumah, mereka diperbolehkan berkomunikasi dalam bahasa apa saja. Lalu kembali menggunakan dua bahasa tadi jika kembali ke rumah.
Dua cerita di atas merupakan catatan pengantar sebelum melahap tulisan ringan ini. Terserah sidang pembaca, apakah menyetujui cerita pertama ataukah cerita kedua.
Namun, saya yakin pembaca menyetujui pendapat saya, bahwa bahasa ibu merupakan bahasa yang mengingatkan kita pada identitas, hakikat, dan asal-usul kita.
Bahasa pertama yang didengar, dieja, ditulis dan diucapkan anak manusia adalah bahasa ibu. Dari bahasa ibu, ia belajar tentang bahasa nasional dan internasional.
Ironisnya, di era globalisasi ini, masih ada oknum, terutama anak muda yang malu, atau bahkan tidak mau berbahasa daerah, dan lebih memilih bahasa alay atau sok kebarat-baratan. Biar terlihat keren dan gaul begitu.
Jika demikian, dimanakah identitas atau jati dirinya sebagai manusia yang lahir dari manusia berbudaya?
Organisasi pendidikan, keilmuan dan kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan Hari Bahasa Ibu Internasional sejak 17 November 1999.
Mengapa harus bahasa ibu? Kenapa bukan bahasa internasional yang diperingati sejagat? Tentu untuk melindungi dan menghargai bahasa-bahasa daerah di dunia, terutama anggota-anggota PBB.
Lepas dari itu, harus diakui bahwa bahasa ibu alias bahasa daerah tetap dibanggakan, apalagi diakui dunia melalui UNESCO. Jika masih ada yang merasa inferior dengan bahasa daerahnya, apa lagi berada di antara bangsa majemuk, dan didominasi bangsa mayoritas, sebaiknya perasaan itu dibuang jauh-jauh.
Semestinya kita berbangga bahwa terdapat ratusan bahasa penduduk Nusantara yang memiliki 714 suku bangsa dengan 1.100 bahasa daerah ini.
Penulis sendiri berbicara bahasa Manggarai, bagian barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur atau Flobamora -- Flores, Sumba, Timor dan Alor.
Bahasa Manggarai merupakan salah satu dari sejumlah bahasa daerah dengan jumlah penutur terbanyak di Flobamora, karena dituturkan penduduk di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur.
Data Badan Pusat Statistik NTT yang di-update 25 Januari 2018 menyebutkan luas per kabupaten dari 22 kabupaten/kota di provinsi ini mencapai 47,9 ribu kilo. Dari luas tersebut, sebagiannya Kabupaten Manggarai Timur dengan luas 2,5 ribu kilo, Manggarai Barat 3 ribuan kilo, dan Manggarai 1,9 ribu kilo. Jadi, bahasa Manggarai dengan lebih dari 500 ribu penutur menyebar di tiga kabupaten tersebut.
Bahasa Manggarai, sebagaimana bahasa daerah lainnya di Nusantara mempunyai ciri khas, ragam dan dialek serta sub dialek. Tapi tiga kabupaten itu hanya menyebut bahasa Manggarai meski dialeknya berbeda-beda.
Bahasa Manggarai, berbeda dengan Kabupaten Alor, yang punya 17 kecamatan, tetapi memiliki 42 bahasa daerah. Dari 42 bahasa daerah ini, 12 di antaranya, sebagaimana dikatakan Bupati Alor Amon Djobo, yang dilansir Kompas.com, 2 Agustus 2016, memiliki logat atau dialek hampir sama. Sementara 30 lainnya berbeda.
Jumlah bahasa di Alor ini lebih banyak dan jauh sekali perbedaannya bila merujuk penelitian Summer Institute of Linguistics (SIL) tahun 1997, yang dimuat majalah Ethnology Language of the World edisi ke-15 (Grimes, 2000), seperti ditulis Inyo Yoz Fernandez, Staf Pengajar Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam majalah Humaniora Volume 19 No. 3 Oktober 2007.
Dalam survei SIL tersebut terdapat 61 bahasa yang tersebar di NTT, yakni, 28 bahasa di Flores dan Lembata, 17 bahasa di Alor, 9 bahasa di Sumba (termasuk Sawu), dan 7 bahasa di Timor (tidak termasuk Timor Leste).
Survei ini membuat Fernandez prihatin dan meragukan inventarisasi bahasa-bahasa di NTT oleh SIL, sebab tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Saya tidak berpretensi untuk meneliti bahasa-bahasa di Flobamora. Terlalu banyak, dan itu akan ditelaah para pakar di bidangnya. Jumlah bahasa yang saya sebut hanya semacam perbandingan, atau pengantar, untuk memperkenalkan bahasa-bahasa di tanah air beta, selain bahasa saya; Manggarai.
Kantor berita Antara, Rabu, 21 Februari 2018 melaporkan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa baru mengidentifikasi dan mendokumentasikan 652 bahasa daerah dari 2.452 daerah pengamatan di Indonesia. Dari ratusan jumlah ini, 71 bahasa direvitalisasi sejak tahun 2011 hingga 2017.
Disebutkan, 19 bahasa daerah di Indonesia kini statusnya aman, 16 stabil, dua bahasa mengalami kemunduran, 19 terancam punah, empat kritis dan 11 bahasa telah punah.
Bahasa yang punah berasal dari Maluku (bahasa daerah Kajeli/Kayeli, Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, Serua dan Nila, serta bahasa Papua, Tandia dan Mawes. Sementara bahasa yang berstatus kritis meliputi bahasa daerah Reta dari Nusa Tenggara Timur, Saponi dari Papua serta bahasa daerah Ibo dan Meher dari Maluku.
Di Papua sendiri, kata Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Dadang Suhendar, baru 380 bahasa yang teridentifikasi. Namun Asrif, dari Kantor Bahasa Maluku Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam makalahnya berjudul “Revitalisasi Bahasa-Bahasa Minoritas” yang disampaikan dalam sebuah seminar di Jayapura, 2018, menulis, terdapat 384 bahasa daerah di Papua dari total 652 bahasa daerah di Indonesia.
Theodorus T. Purba, dalam makalah berjudul “Penyederhanaan Bahasa-Bahasa Daerah di Papua dan Papua Barat” – makalah untuk seminar dalam rangka penyederhanaan bahasa-bahasa daerah di PBB (Papua/Papua Barat) agar dapat dibina lebih baik lebih baik tanggal 16 Oktober 2018 di Uncen (Universitas Cenderawasih) Abepura, Papua – menggolongkan dua bahasa di PPB, yakni bahasa Austronesia sebanyak 51 bahasa dan bahasa Papua sebanyak 225 bahasa.
Bahasa Austronesia tersebar di Raja Ampat, Bomberai, Teluk Gelvink (Cenderawasih), utara bagian timur (Sarmi barat dan Humboldt timur).
Soal jumlah bahasa daerah, saya kira masih menjadi pekerjaan rumah untuk selalu diperbaharui oleh para ahli bahasa di Indonesia. Saya tidak masuk ke ranah itu. Poin saya adalah, soal penggunaan bahasa daerah.
Kita boleh berbangga atas kekayaan budaya di rumah besar ini, terutama bahasa daerah atau bahasa ibu tadi. Kekayaan bahasa daerah ini tidak lantas membuat kita merasa inferior.
Tapi lebih meningkatkan kesadaran dan rasa cinta terhadap tanah kelahiran dengan segala kekayaan alam dan budayanya.. Hal yang paling penting adalah agar bahasa ibu kita tidak punah alias tinggal cerita seperti di lagu-lagu itu, lho.
Memang harus diakui bahwa kita hidup di kolong langit ini, hidup dengan masyarakat pluaral, dan karenanya tahu menempatkan diri juga. Pada cerita pengantar tulisan ini sedianya menjadi bahan refleksi. []
#2022
Timoteus Rosario Marten