18/11/2021

Ketika maut merenggut dua pasutri

18/11/2021

salib
Ilustrasi - Pixabay

Suatu sore pada awal Februari 2012, di Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua, kami kehabisan rokok. Stok makanan menipis. Dana peliputan dua mingguan juga nyaris habis.


Tiupan angin menusuk sampai ke ubun-ubun. Tak bisa diusir asap rokok, sebab kami harus menghemat di masa kritis.

Sekira sepuluh meter dari hadapan kami, api membakar ranting dan daun kering. Kami tidak berdiang. Hanya bercerita di depan penginapan. Saya dan kawan Indrayadi, yang ketika itu mendapat tugas liputan untuk Aliansi Jurnalis Independen Jayapura tentang pendidikan dan kesehatan. Dua orang diutus ke satu daerah. Sekitar sepuluh daerah yang didatangi. Saya dan kawan Indrayadi dari TVRI ke Oksibil.

Kami menginap di salah satu penginapan milik susteran, di dekat sebuah gereja Katolik. Kebetulan saat yang sama beberapa orang menginap di situ. Mereka memasang solar cell (panel surya) di sejumlah lokasi di Pegunungan Bintang.

Kami berkenalan. Satu dari tiga orang itu yang dikenal adalah Ferdinandus Nggarang. Dipanggil Om Edi.

Usai bercerita panjang lebar, Om Edi memberi kami makanan. Mereka punya stok terbilang cukup. Pasokan baru didatangkan dari Jayapura, ibu kota Provinsi Papua.

Penerbangan Jayapura menuju Oksibil ditempuh sekitar 45 menit. Sore ini satu dari timnya tiba dengan banyak bawaan. Kami dapat makanan dan rokok. Hati senang dan riang gembira.

Sejak saat itu saya mengenal Om Edi dan dua orang lainnya. Satu bernama Dinus. Edi dari Kole, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Flores.

Dalam perjalanan selanjutnya baku kenal. Tanya silsilah. Mengunjungi rumahnya. Bertegur sapa. Mengikuti pertemuan tungku Manggarai.

Biasanya orang Manggarai memperkenalkan diri, keluarga, dan hubungan kekerabatan, saat bertemu satu sama lain. Baku tanya. Baku tahu. Sebutannya nunduk.

Beliau masih punya hubungan kekeluargaan dengan saya. Salah seorang saudara saya di kampung memperistri adiknya. Demikian pertalian keluarganya.

Beberapa waktu setelah pertemuan di Oksibil, beliau tinggal di Entrop. Di belakang SMA Negeri 4. Tepatnya di kompleks Gereja Katolik Santu Agustinus Entrop, Distrik Jayapura Selatan.

Dia bertetangga dengan adik sepupu mama saya. Juga adik laki-laki mama. Saya pernah tinggal di sini semasa kuliah, sehingga kerap bertemu.

Main pingpong. Cerita-cerita. Berkumpul dan berdoa dalam komunitas basis gerejawi, adalah aktivitas yang mempertemukan umat Kristani. Kami juga demikian.

Minggu, 3 Maret 2019, saya mewawancarai beliau terkait pertunjukan tarian caci di halaman Gereja Katolik St. Agustinus Entrop. Caci dihelat dalam rangka cari dana pembangunan gereja itu.

Banyak yang datang. Pemain caci baku pecut. Penonton baku sumbang. Baku doa. Pro ecclesia et commune. Demi gereja dan kebersamaan sebagai satu anggota Gereja Universal.

Om Edi adalah salah satu dewan pengurus gereja Entrop. Jadi, saya mewawancarinya perihal kegiatan tersebut.

"Om, minta waktu wawancara sedikit ka."
"Bagaimana?"
"Ah, tentang ini pertunjukan caci dan gereja ka."
"Iyo sudah," jawabnya, sambil merapikan kabel, pelantang, dan peralatan elektronik di kedua tangannya.
"Saya rekam video karena nanti diunggah ke youtube."
"O, kalo begitu topi ini dilepas ee."
"Sebaiknya begitu."

Topi yang dipakainya lantas dilepas. Konteksnya memang ihwal gereja dan pentas budaya Manggarai. Maka wajar saya mengiyakannya.

Dia berbicara dalam kalem. Dibalut kaus oblong hitam. Bertuliskan warna emas. Ucapannya terukur. Singkat, padat, jelas.

Setelah itu saya tidak pernah bertemu dia lagi. Tapi suatu sore yang panas beberapa tahun lalu, saya ke lapak jualan es kelapa muda di kawasan Skyline, Kota Jayapura. Saya mau minum es kelapa muda di lapak yang berjejeran di sisi kiri jalan raya Jayapura-Abepura itu. Tetiba ada suara berteriak.

"Timooo!!!"

Saya penasaran. Menoleh ke arah jalan. Tapi saat kutoleh, motornya ditelan kendaraan yang berjejalan di tanjakan depan vihara Skyline.

Ternyata itu dia. Dari balik riuhan kendaraan, masih terlihat keduanya. Dia dan istri menuju Entrop. Saya pun berteriak memangggil mereka.

Ceritanya sampai di situ. Tapi tulisan ini belum selesai. Dari Oksibil, baku kenal, hingga saat ajal.

Seberapa penting pengaruh dia terhadap hidup saya, sehingga saya menulis di sini? Tidak seberapa memang. Bahkan mungkin tidak ada. Hanya terdorong rasa kemanusiaan. Rasa empati pada kematian. Apalagi kematian dengan cara yang bikin darah mendidih. Itu saja.

Penggalan kronik kehidupan tadi menjadi semacam refleksi pengantar. Selanjutnya, entah, babak-babak menegangkan.

Di bawah rintik hujan, pada jalan licin beraspal, di tikungan Mata Kucing Skyline, Kota Jayapura, mereka ditabrak.

Ini akan menjadi cerita bagi kelurganya. Atau siapa pun yang mengenal mereka.

"Bapa tidak usah pergi sudah," kata anaknya, Vikal, saat pagi sebelum berangkat.

Tapi mamanya mondar-mandir mencari kunci motor. Berangkatlah mereka usai menemukan kuncinya. Mungkin saja sebagian warga Jayapura masih menikmati kopi, atau bereuforia dengan kemenangan FCB Barcelona atas Liverpool semalam, tapi dua insan ini berbeda.

Andai kunci motor tak ditemukan, barangkali pagi ini mereka tak direnggut maut. Tapi begitulah. Misteri. Bermantel plastik hijau muda mereka menerobis gerimis pagi ini. Hendak mencari nafkah.

Naas menimpa pasangan suami istri ini. Motor yang dikendarainya ditabrak mobil kijang kapsul, Kamis, 2 Mei 2019, sekitar pukul 5.50 pagi, waktu Papua.

Pria 46 tahun itu luka parah. Dua lututnya lecet. Kepala membentur tembok. Dia masih bernapas dan memeluk tembok, sehingga sempat memanggil istrinya dengan suara lemah.

Emmy Ode Balo, perempuan 43 tahun, istri yang duduk di boncengannya, luka parah. Bibir lecet. Kepala kena benturan keras.

Pasangan suami istri (pasutri) ini pun dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Kotaraja, Distrik Abepura. Sekira lima belas menit dari tempat kejadian perkara.

Emmy tak kuat. Dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Sedangkan Om Edi masih bernapas. Tapi beberapa saat setelah pasang oksigen, dia juga menghembuskan napas terakhirnya. Selesailah sudah.

Laporan yang diterima Kapolsek Abepura, Kompol Marthin Koagouw, seperti dilansir dari media di Papua, menyebutkan, kejadian naas itu bermula ketika mobil kijang kapsul, dengan plat polisi DS 1635 AE, yang dikendarai pria berinisial IN (25), datang dari Abepura menuju Jayapura.

Namun, IN hilang kendali karena kaget saat motor dari arah berlawanan mendahului kendaraan di depannya. Karena panik, pria itu membanting stir mobil ke kiri jalan, dan tiba-tiba membanting stir mobil ke kanan jalan. Saat bersamaan datang motor Yamaha Jupiter Z DS 5325 AF yang tumpangi kedua korban dari arah Entrop. Jarak yang begitu dekat membuat kecelakaan tak bisa dihindari lagi.

Polisi menduga kecelakaan terjadi karena pengemudi kijang kapsul itu kurang hati-hati. Dia kurang konsentrasi saat mengemudi sehingga panik, dan tidak mampu mengendalikan mobilnya di jalan licin pagi ini.

Penabrak pun berurusan dengan polisi dan masalahnya sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Pasutri ini meninggalkan seorang anak semata wayangnya yang masih kuliah.

Kejadian dua tahun lalu ini terjadi di tikungan Mata Kucing, kawasan Skyline. Bagi orang-orang Jayapura, Mata Kucing dikenal dengan kawasan yang angker. Di sini kerap terjadi kecelakaan, entah kecelakaan ringan atau yang fatal sekali pun.  

Pada suatu kesempatan di akhir pekan lalu, tetiba saja saya teringat peristiwa Mata Kucing itu, lalu menulisnya kembali. Yakni Mata Kucing dan kecelakaan, yang menewaskan artis Vanessa Angel dan suaminya Bibi Andransyah, di Jalan Tol Nganjuk menuju Surabaya, Jawa Timur, Kamis siang, 4 November 2021.  

Maut merenggut nyawa dua pasangan suami istri ini—terpisah ribuan mil, pulau dan lautan. Kedua pasutri kebetulan meninggal dengan cara yang sama: sama-sama meninggalkan anak semata wayang (Surfikal dan Gala Sky), meninggal karena kecelakaan, dan suami istri meninggal bersamaan.

Refleksi saya menukik lebih jauh ke kedalaman tentang janji perkawinan ketika maut merenggut kedua pasutri tadi—sehidup semati. Ya, ibarat janji perkawinan: keduanya sehidup semati, bersama-sama dalam suka dan duka, dan lain-lain. Ai mama sio.

Kedua mempelai ini meninggal dengan cara yang tidak kita mengerti. Tapi begitulah hidup. Kita tidak tahu kapan kita mati. Hanya satu yang pasti, bahwa semua kita pasti akan mati. Hanya soal waktu.

Sebagai orang beriman kristiani—saya dan mungkin kawan-kawan pembaca, kita hanya berdoa dan mengenang kebaikannya. Seperti pribahasa “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama baik." []


#2021
Timoteus Rosario Marten


Show comments