
Penjemputan imam baru, RP Iwantinus Agung, SVD, di Paroki Rejeng-Ketang, 6 Oktober 2020 - Dokpri/Serafim
Di penghujung pekan, akhir September 2020, saya
menepi dan menyepi sejenak, sembari menatap sirus
dengan serius di langit biru. Catatan sejarah di kampung
halaman dimulai, Kampung Lentang.

Seperti kampung-kampung lainnya di bagian barat Pulau Flores, kampung ini masih memiliki rumah-rumah papan panggung yang dihuni lebih dari enam atau lebih kepala keluarga. Rumah-rumah ini melingkari sebuah halaman (natas). Luas natas ini sekira setengah lapangan bola kaki.
Undakan batu di tengah natas dengan pohon dadap (haju kalo) yang berdiri meranggas pada musim kemarau. Masyarakat menyebut batu-batu yang tersusun rapi ini sebagai compang, yang dijadikan semacam altar atau mesbah untuk mempersembahkan sesajian dan berbicara kepada leluhur manakala digelar upacara adat.
Lima rumah panggung papan masih berdiri kokoh sejak dibangun sekitar seabad yang lalu. Satu rumah adat atau mbaru gendang, satu rumah besar menyerupai rumah gendang. Masyarakat biasa menyebutnya mbaru santé. Tiga lainnya milik salah satu keturunan (panga).
Beberapa rumah panggung lainnya sudah dipugar, sehingga tampak lebih modern. Kini berdiri bersamaan dengan kios-kios mini, puskesmas pembantu (pustu), jalan bersemen, dan pohon-pohon kopi, serta dua atau tiga pohon pinang dan kelapa, yang menjulang tapi tak pernah berbuah.
Sebuah rumah panggung beratap seng, berdinding dan lantai papan, berukuran kira-kira 10 meter dengan panjang 12 meter, dihuni enam kepala keluarga. Ketika matahari terbenam, berkas-berkas sinarnya yang hangat, masuk melalui pintu depan, jendela, dan celah-celah papan, dan matahari pagi menyembul dari balik pohon dadap dan kopi, ke dapur dan pintu belakang.
Tepat pada Jumat, 8 Juni 1990, di rumah ini, lahir seorang putra dari pasangan petani sederhana, Romana Ndiwung dan Dominikus Jelahu. Anak itu kelak menjadi anak ketujuh dari delapan bersaudara. Kehadiran anak lelaki ini menambah daftar putra-putra pasangan Dominikus dan Romana. Anak laki-laki bungsu dari empat laki-laki gagah perkasa. Anak ini segera dinamai Iwantinus Agung.
Meski dalam tradisi penamaan anggota keluarga tidak menyematkan nama klan atau marga, nama akhir Iwantinus mengabadikan nama kakeknya, Nagung yang biasa dipanggil Igung. Nagung memperanakkan Dominikus dan Dominikus memperanakkan Iwantinus.
Tujuh tahun kemudian, dia belajar pada SDK Lamba-Ketang dan tiga tahun di SMPK St. Stefanus Ketang, serta Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo selama empat tahun (dulu seminari Labuan Bajo familiar disebut seminari gabungan karena anak-anak seminari mengikuti pelajaran SMA umum di SMAK St. Ignasius Loyola Labuan Bajo dan pendidikan khusus seminari pada sore sampai malam hari di seminari).
“Dulu, waktu saya masih di Seminari Labuan Bajo, saya sempat berpikir untuk beralih langkah ke jalan yang lain,” kata Iwan, sapaan Iwantinus.
Musababnya karena gangguan kesehatan berdasarkan hasil check up di Rumah Sakit St. Rafael Cancar—lima jam dari Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat atau setengah jam dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Persis liburan panjang naik kelas tiga seminari. Waktu itu dia dinyatakan mengalami gangguan fungsi hati terlalu tinggi, yang mengarah ke hepar atau liver. Semangat untuk maju pun semakin kendor.
Sesuai peraturan seminari, para seminaris melakukan check up saat memasuki semester berikutnya. Mereka harus sehat jasmani dan rohani, selain kemampuan intelektualitas, kerohanian, dan relasi social antarsesama. Ketika tamat pun mereka harus mengikuti tes IQ dan mengantongi surat keterangan kesehatan. Tentu ada juga persyaratan-persyaratan lainnya, misalnya, rekomendasi paroki, orang tua, seminari, dan evaluasi kawankawan seangkatan.
Di Labuan Bajo, hepatitis atau liver adalah penyakit “langganan” yang paling menakutkan. Jika terdiagnosa mengidap hepatitis, maka para seminaris hampir pasti tahu apa yang bakal terjadi. Mereka harus mengeja langkah baru di “luar tembok”. Seminaris muda ini sempat mengambil jalan pintas, untuk melanjutkan studi di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Lulus.
Meskipun begitu, keluarga sudah bersusah payah mencarikan dia obat herbal, semisal temulawak dan susu hepatosol. Itu pun untuk sehat saja. Tak terpikirkan lagi baginya untuk melanjutkan langkah ke biara atau seminari tinggi.
“Hasilnya saya aman,” katanya.
Artinya, dia boleh melanjutkan satu langkah ke biara atau seminari tinggi. Bagi calon imam diosesan (projo), mereka mengikuti Tahun Orientasi Rohani (TOR) selama setahun dan menjalani masa novisiat dua tahun bagi calon imam religius/ordo/tarekat atau biarawan, sebelum empat tahun menempuh studi filsafat.
Sejak saat itu, dia kemudian berpikir lagi. Menimbang-nimbang, antara maju terus atau membelokkan arah.
“Berdasarkan pertimbangan dan restu dari keluarga saya tetap memilih untuk lanjut ke biara SVD Nenuk (Atambua Timor-NTT) ” katanya.
Dalam segala keterbatasan dan kekurangannya, Iwan berjuang untuk teguh dan menjalankan panggilan sebagai imam dan religius Serikat Sabda Allah atau SVD. Di seminari tinggi, tantangan silih berganti, terutama dalam menuntaskan segala tuntutan lembaga, baik dari segi akademik, maupun kehidupan membiara.
Sebagai
manusia normal pun dia pernah merasakan jatuh rasa dan jatuh hati dengan perempuan.
Hal itu memang wajar. Toh kesemuanya untuk mematangkan dan mendewasakan
panggilan, terutama dalam menjalin relasi dengan semua orang kelak.
SUATU HARI di tahun 2019, Iwan bercerita kepada saya ihwal penulisan tesisnya dengan pendekatan budaya Manggarai. Saya senang dan saya mendukung itu. Perkiraan saya, tulisan ilmiah ini akan menambah literatur ketika menulis tentang budaya Manggarai.
Setelah studi filsafatnya selesai di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, dia melanjutkan pendidikan pascasarjana program studi teologi pada sekolah yang sama. Masa studi ini adalah titik terberat untuk melanjutkan langkah kaki. Apakah melanjutkan studi dan menjadi imam yang biarawan, ataukah berhenti di persimpangan? Ihwalnya adalah kepergian orang-orang tercinta untuk selamanya.
Kabar duka tiba-tiba datang dari kampung halaman pada Maret 2018. Bapaknya, Dominikus Jelahu, pada usia lebih dari 75 tahun pergi untuk selamanya. Sang bapak tak akan pernah menyaksikan anaknya yang menerima tahbisan diakonat dan imamat dua tahun kemudian, karena gagal ginjal. Persis setelah sang anak mengikrarkan kaul kekal di Maumere, 15 Agustus 2018 atau sepulang menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) dari Seminari St. Yohanes Maria Vianney, Saumlaki, Tanimbar, Maluku Tenggara Barat, Maluku.
“Itu sebuah pukulan yang amat berat. Panggilan terganggu. Maka mulai lagi menimbang-nimbang antara maju atau mundur,” kenangnya.
Dari hasil pertimbangan itu, dia kemudian mendapat semacam peneguhan dan penguatan dari pelbagai aktivitas rohani (pembinaan spiritual), yang mana Tuhan Allah akan memampukan dia memikul beban di pundaknya. Iwan berpikir bahwa tantangan kehilangan orang tercinta berakhir di situ. Ternyata tidak. Rupanya Tuhan berkehendak lain. Yang Maha Kuasa kemudian mengambil mama tercinta dari tengah-tengah keluarga, saat perjuangan hampir di titik finish.
Songke yang membalut jenazah sang bapak belum kering, setahun berikutnya, sang anak yang dalam tradisi kekristenan sudah dipanggil frater, terpaksa merelakan kepergian ibunda. Mama Romana tiba-tiba terjatuh di dapur suatu sore pada akhir September 2019. Dia tak sadarkan diri selama beberapa jam, hingga akhirnya menyusul sang suami ke tanah air abadi.
Kedua orang tua
ini seperti benar-benar kompak untuk tak menyaksikan tahbisan sang
buah hati. Apakah ini rancangan Tuhan? Hanya iman yang teguh yang
membuat keluarga yakin, bahwa pasangan suami istri itu betulbetul menitipkan
sang anak pada Penyelenggaraan Ilahi, dan merelakannya menjadi pekerja
di kebun anggur-Nya.
Suasana batin sangat tidak tenang. Dilematis. Perasaan mulai mendua, antara biara dan rumah atau mengundurkan diri. “Maklum, karena memang beban kehilangan itu mendominasi seluruh relung hati dan pikiranku,” ujarnya.
Yah, apa mau dikata, mungkin ini sebuah salib yang harus dipikul. “Atas dasar itu, saya memilih moto tahbisan ‘Sebab Ia, yang menjanjikannya, Setia’ (Ibr. 10:23),” ujarnya.
“Ta ase neka holes ngger musi e, am hoo keta tantangan terberat keluarga dite ge (Adik, jangan toleh ke belakang, teruslah melangkah. Barangkali ini tantangan terberat kita),” kata saya, suatu waktu setelah kepergian Mama Romana dan Bapa Dominikus.
“Ta kae kuat aku ge (saya sudah kuat kakak).”
Dalam
tantangan dan kesulitan hidup, iman dan pengharapan adalah kuncinya. Begitu
dia nerefleksikan lika-liku perjalanan panggilannya. Iman dan harapan
menjadi prasyarat dasar dalam menggapai apa yang diinginkan,
sebab perjuangan hidup itu mesti disempurnakan dengan kekuatan yang
datang dari Tuhan, dan janji-Nya tak pernah gagal.
SEBASTIANUS Gersoni Bantrang masih mengingat mozaik-mozaik masa kecil bersama Iwan. Sebastianus menceritakan bagaimana mereka bermain bersama anak-anak lainnya di rumah, natas, dan pergi ke kebun saat musim jagung dan padi.
Gersoni terpaut dua tahun dengan Iwantinus. Pria 30-an tahun yang lincah mengacak-acak si kulit bundar dengan kaki kirinya di lapangan hijau ini, juga masih merekam kenangan tatkala menjaga padi di sawah. “Ngo riang peti sale Ndaring e kaks, bowo hang mai taen ga ‘ole retang hang ho wa tong’ ([Saat] Menjaga padi di Lingko Ndaring, remah-remah nasi jatuh dan dia bilang ‘aduh nanti nasi ini menangis’),” kata Gersoni.
Dalam
pikiran Sebastianus, anak sekecil itu masih bisa memikirkan hal-hal sepele seperti
kejadian tadi. Dia juga biasanya bangun lebih awal. Timba air pagi-pagi.
“Lalu cari kayu
bakar sepulang sekolah,” katanya.
Dia juga mengisahkan bagaimana anak-anak di rumah ini, ramai-ramai berdiang di tungku api (likang) masing-masing keluarga (kilo), dan membakar jagung yang keras (latung kora) saat pagi, sebelum berangkat ke sekolah, dan saat-saat menjual jeruk di jalanan.
Enam tahun lalu saya pulang kampung. Ketika itu pas musim jeruk. Suatu siang yang berkabut, di sebuah tikungan berdinding pohon-pohon bamboo dan hamparan sawah, di Wae Lelang, desa Ketang. Mama Romana sedari tadi duduk santai sambil makan pinang.
Saya dan frater Iwan meluncur. Bacarita (ganda-ganda) sekenanya. Tiba-tiba mobil lewat. Kami lari. Mengasong (sotor) jeruk pada orang-orang kaya atau para turis, yang kebetulan melewati jalan trans-Flores. Alhasil jeruk laku terjual (nau). Betapa tidak, jarak lapak kami dengan mama-mama penjual jeruk lainnya sekitar 100 meter. Termasuk Mama Regina, mama saya.
Kami untung banyak. Lagian, mobil-mobil berhenti tepat di depan lapak kami. Saya punya terjual satu tempat sup sekira Rp 50 ribu, dan Fr. Iwan Rp 200 ribu atau Rp 300 ribu. Tapi Mama Romana tidak. Hasil jualan lalu disetor kepada beliau. Dilanjutkan makan jeruk sambil bercerita tentang banyak hal. Diselingi tawa.
Saya melihat pinangnya jatuh dari balik giginya yang kokoh ketika terungkap sebuah cerita. Saya lupa ceritanya. Tapi ketika itu saya menahan tawa. Pura-pura menarik asap rokok. Saya takut kalau-kalau dia memarahi saya.
Dalam
hati saya bertanya, entah apa yang membuat pinangnya jatuh, saking lucunya cerita
kami, ataukah faktor lain? Tapi dari balik senyuman dan rautnya yang menyiratkan
guratan-guratan kebijaksanaan, saya semakin yakin bahwa sang mama sedang
bahagia. Barangkali karena melihat darah daging yang membantunya
menjual jeruk di jalanan meski sudah dewasa. Tidak memasang gengsi seperti
kebanyakan
pemuda desa yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di kota-kota besar.
KAMPUNG LENTANG sejak tahun 2019, mempersiapkan penyambutan dan syukuran imam baru. Lonto torok atau musyawarah di rumah gendang misalnya. Umumnya di kampung-kampung memecah kesunyian malam dengan tabuhan gong dan gendang. Itu nanti salah satu hal yang dilakukan. Semacam rapat panitia kampung (pa’angn olo ngaungn musi). Ditambah dua kampung tetangga, Pelus dan Kalo.
Suara-suara, nyanyian dan hentakan kaki, membuat debu kampung halaman di musim kemarau, turut mengambil bagian dalam penyambutan yubilaris. Masyarakat mulai mengadakan latihan tarian tradisional bernama danding, pukulan irama gendang bernama mbata, dan lagu-lagu tradisional lainnya.
Suara gong-gendang dan nyanyian-nyanyian itu diawali dengan upacara adat. Singkatnya untuk meminta izin dan pemberitahuan kepada naga beo (penjaga kampung) dan leluhur. Sekiranya mereka tidak kaget bila nanti gong dan gendang dibunyikan. Mereka juga diyakini akan menghalau segala kekuatan roh halus yang mengganggu kampung dan penduduknya.
Kampung
yang berada di daerah perbukitan, yang menurut catatan BPS, berada pada
ketinggian 900-1.000 meter dari permukaan laut ini, mencatat sejarah baru,
karena baru pertama kali memiliki imam yang ditahbiskan pada 3 Oktober
2020 di Ledalero, Maumere, Pater Iwantinus Agung, SVD. Tuang baru itu,
ditahbiskan bersama beberapa imam lainnya oleh Uskup Agung Ende, Mgr.
Vincentius Sensi Potokota.
Adrianus Jehamat, seorang guru di Kampung Subu, Desa Gelong, Kecamatan Lelak, Manggarai, mengisahkan kedekatannya dengan Pater Iwan sejak SD hingga SMA. Ia boleh bersyukur karena salah seorang temannya menerima sakramen imamat. Bahwa teman kelas dan teman masa kecilnya ini pantas ditahbiskan, sebab perilaku dan keuletannya dalam belajar tampak pada diri Iwantinus kecil dan remaja. Oleh sebab itu, Ary, sapaan Adrianus, boleh berbangga karena dia juga menjadi panitia tahbisan imam baru, yang bukan hanya putra Lentang, melainkan juga teman dekatnya.
Ary dipercayakan sebagai seksi liturgi pada susunan panitia penahbisan imam baru. Panitia sudah mempersiapkan misa syukuran dan rangkaian upacara adat sejak tahun lalu. Masyarakat menyepakati bahwa rangkaian pesta didahului misa syukur dan disusul tarian caci, yang mengundang tamu (meka landing) dari salah satu kampung di kedaluan tetangga.
“Masyarakat antusias sekali karena ini baru pertama kampung kita dianugerahi tahbisan imam. Tiap kepala keluarga juga secara spontan memberikan sumbangan sukarela demi kelancaran upacara nanti,” kata anak keempat dari lima bersaudara ini.
Penumpangan tangan dan pemberkatan keluarga oleh imam baru, 7 Oktober 2020 di Lentang - Dokpri/Serafim
Kebanggaan sebagai pastor pertama dari kampung halaman, juga terungkap dalam diri keluarga dan masyarakat Lentang. Kakak sulung Pater Iwantinus, Anastasia Jiha tak kuasa menahan haru. Dia meyakini bahwa momen ini merupakan berkat Tuhan atas keluarga, kampung halaman dan paroki. Dia pun meminta doa dari semua umat Katolik agar adik ketujuhnya, yang menerima tahbisan imam pada 3 Oktober 2020, dan diutus ke Argentina, Amerika Latin ini, selalu dilindungi dalam kasih Tuhan.
Dia memang tak pernah membayangkan adik ketujuhnya kelak menjadi pastor, sebab, tak ada tanda-tanda khusus semacam mimpi, penglihatan atau apapun. Kalaupun ada, itu semata karena memang adik ini sudah lolos testing masuk seminari menengah setamat SMP di Ketang.
Mantan guru dan Kepala Sekolah SMPK St. Stefanus Ketang, Benediktus Patut mengisahkan mantan muridnya yang biasa-biasa saja sewaktu sekolah. Kemampuan intelektual Iwan remaja juga tergolong pas-pasan.
Namun ia memuji Iwan yang berkepribadian baik dan sederhana. Begitu Iwan lulus testing masuk Seminari Labuan juga belum terlihat sesuatu yang luar biasa. Paling tidak sepengetahuan Benediktus. Setelah Iwan satu tahun di Seminari Yohahes Paulus II Labuan Bajo, Benediktus baru mendengar cerita tentang prestasi dari bekas muridnya ini.
“Saat itu saya memberikan supor kepada kedua orang tua (Ema Domi dan Ende Romana), do do ngaji tae daku, ai rahmat de Morin toe be lite (saya bilang ke mereka banyak-banyaklah berdoa, karena rahmat Tuhan kita tidak tahu),” kata Benediktus kepada saya, Senin, 28 September 2020 melalui pesan WhatsApp.
“Karena saya sangat yakin bahwa Roh Tuhan bertiup kemana Ia mau,” lanjut Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Lelak ini.
Iwantinus adalah tuang atau pater pertama (karong salang) dari kampung Lentang. Meski demikian, masih ada 20-an fratres dari Paroki RejengKetang yang sedang menempuh studi di STFK Ledalero. Sembilan dari 20-an fratres itu berasal dari Lentang. Salah satunya, Yohanes de Britto Nanto, SVD.
Dia berkata, konfrater Reverendus Pater Iwantinus SVD, merupakan sosok biarawan yang rendah hati ramah dan sederhana Keramahan membuat biarawan yang rendah hati, ramah dan sederhana. Keramahan membuat kehadirannya selalu membawa kegembiraan bagi setiap orang yang berkenalan dengannya.
Pater Iwan juga disebut selalu menunjukkan keserhanaan sebagai seorang imam Tuhan yang setia. Dia tampil sederhana, sebab baginya setiap tugas dan pelayanan semata-mata untuk memuliakan Tuhan dan membawa keselamatan bagi sesama.
“Pater (Iwan) mendapat tugas di Argentina Timur. Saya berharap agar Pater tetap setia dalam tugas dan pelayanan,” kata Rio, sapaan Frater Yohanes, SVD.
Frater yang sedang menjalani TOP di SMAK Suryadikara Ende ini berpendapat, bahwa menjadi pastor bukan perkara mudah, tetapi dalam Tuhan semuanya akan berjalan dengan baik.
“Pater Iwan menjadi pastor pertama dari Kampung Lentang. Ini adalah anugerah Tuhan yang istimewa dan berkat bagi kampung Lentang. Semoga Pater tetap menginspirasi orang-orang muda agar mengabdikan diri menjadi pelayan Tuhan,” kata Frater Rio.
Penahbisan Tuang Iwan menambah daftar imam dan biarawan-biarawati asal paroki yang berdiri sejak tahun 1950-an, Paroki Rejeng-Ketang, Keuskupan Ruteng. Tahun 2019 didata sebanyak 28 suster, 27 imam atau pastor, dan empat bruder. Kini, 2020, imamnya bertambah menjadi 28 orang.
Lentang tak jauh dari gereja paroki. Sejumlah pemudanya pernah mengenyam pendidikan di seminari tinggi dan menengah, salah satunya adalah seminaris pertama dari Lentang, Alm. Yohanes Bong dan Alm. Markus Hambut. Namun baru kali ini putra terkasih dari Gendang Lentang yang dipilih menjadi pekerja di kebun anggur Tuhan. Pater Iwan sedianya membuka jalan bagi pemuda-pemuda lainnya.
“Setiap kali datang libur sebagai frater (Iwan) selalu melakukan dua hal. Pertama, ia selalu datang ke paroki ketemu pastor paroki; kedua, setiap hari Minggu waktu misa ikut bantu imam membagi komuni,” kata Benediktus, yang juga mantan Ketua Dewan Paroki Rejeng-Ketang.
Sejak saat itu Benediktus yakin bahwa Frater Iwan memiliki panggilan yang kuat untuk menjadi imam. Apalagi setelah TOP dan kembali ke Ledalero untuk mengikrarkan kaul kekal (kemurnian, ketaatan, kemiskinan), dia semakin yakin bahwa Frater Iwan segera menambah daftar imam dari Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga Rejeng-Ketang.
“Saya menyampaikan terima kasih dan profisiat untuk Pater Iwan karena rela berkorban untuk memiskinkan diri secara jasmani, namun kaya secara rohani,” kata alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan (STKIP) St. Paulus Ruteng (kini Unika St. Paulus Ruteng) ini.
Kebanggaan, doa, dan harapan dari keluarga terungkap dalam banyak hal. Salah satunya Adrianus Durhaman. Dalam hubungan kekeluargaan, Adrianus memanggil Iwan sebagai bapa kecil atau bapa ade (paman), tetapi keduanya seangkatan pada SMP Santu Stefanus Ketang, Kecamatan Lelak.
“Halo Papa Imo. Jadi dere ge, eme manga video tahbis diakon kirim ngger ce kid pande video (Halo Papa Imo, lagu sudah selesai, kalau ada video tahbisan diakon kirimlah untuk dijadikan video klip),” demikian pesan WhatsApp Adrianus kepada saya pada 16 September 2020.
Saya membaca dan memaknai kata per kata. Biasanya lagu-lagu berbahasa Manggarai menggunakan simbol, metafora, atau goet (ungkapan). Saya mencoba menerjemahkannya secara hurufiah, agar dipahami sidang pembaca yang tidak berbahasa Manggarai.
Adrianus tak mengetahui mata saya berair dan menjeda tiap kata dan goet, terutama bila menjeda pada goet-goet tertentu, dan merenungkan bagaimana rasanya kehilangan orang-orang tercinta untuk selamanya.
“Toe hemong agu toe mamur (tidak lupa dan tidak hilang)
Sangged toing agu titong di ende agu ema
(semua nasihat dan tuntunan dari ibu dan bapa)
Wuat agu ngo sekola
(diutus dan pergi sekolah)
Kudut molor tombo latang hae do
(supaya pembicarannya baik untuk semua orang)
Woko nuks susung de guru
(bila teringat semua nasihat guru)
Agu sangged waheng tau lema emas mu’u luju kudut curup
(dan semua pelajaran biar
lidahnya bersinar seperti emas mulutnya seperti mutiara saat berbicara)
Lawang sekola Ketang
(selama sekolah di Ketang) Seminari Labuan Bajo (seminari Labuan Bajo)
Tedeng le Ledalero
(sampai ke [hulu] Ledalero)
Turung cemoln sekolan e
(sampai selesai sekolahnya)
Taki lau tana Saumlaki
(sampai di [hilir] Tanah Saumlaki)
Tau wero nendong neteng beo
(untuk kabarkan keharuman [Kabar Gembira] ke setiap
kampung)
Beo Lentang momang de
(kampung Lentang kita yang tercinta)
Ho’o kali haeng bate kawe(ini sudah didapat apa yang dicari)
Ho’o de palong jadi pastor
(inilah tuntunan menjadi pastor)
Pater Iwantinus Agung anak de
(Pater Iwantinus Agung anak kita)
Katit manga rangam
(Andaikan ada wajahnya)
Ende agu ema cimping racapm
(Mama dan papa di sisi kiri kananmu)
Du turung cemol sekolan e
(sewaktu selesai sekolahnya)
Lako toe baro ngo toe tombo
([tapi mereka] jalan tidak kasih kabar pergi tidak omong
terlebih dahulu)
Poli tatap le tana saras e
([tapi mereka] sudah ditutup oleh tanah)
Tadu ali watu gauks e
(ditutup oleh batu kalian punya raga)
O ase kae do…
(ya saudara-saudara semuanya…)
Mai riang agu naka cama
(mari jaga dan sambut bersama)
Rewo beo randang natas
(ramaikan kampung seperti saat upacara randang waktu buka
kebun di halaman kampung)
Wewas taung neteng bendar
(kabarkan semua ke setiap kampung/kota)
Poto taung lawa do mai suju Mori de
(ajak semua orang-orang untuk datang menyembah
Tuhan kita)
Tegi agu gesar dami Mori
(kami punya permohonan dan keluhan ya Tuhan)
Ho’o kali tiban sakramen imamat
(ini saatnya [dia] terima sakramen imamat)
Ari, sapaan Adrianus, sepakat bahwa lagu ini dibawakan saat rangkaian misa syukuran dan penyambutan imam baru ini digelar.
Suatu
waktu di awal April 2020, pandemi virus corona menghantam segala penjuru dunia.
Kebijakan pemerintah terkait pembatasan sosial (lock
douwn) dan jaga jarak
(social
distancing), serta mengikuti protokol kesehatan atau
di rumah saja, membuat saya mengambil waktu sedikit banyak, untuk berefleksi dan menulis. Mendengarkan suara hati dan menulisnya.
Lahirlah semacam puisi, Surat
dari Ibu.
Porong jari koe dengkir tai
(semoga hiduplah sampai selama-lamanya)
Agu sembeng koe tedeng len
(dan lindungilah sampai selama-lamanya)
Hostia ata poli bija
(hostia yang sudah diberkati)
One mai Kristus Mori de
(dari Kristus Tuhan kami)
Kepada anakku tersayang
Jauh kau melangkah
Sedangkan ibunda menenun senyum
Dari harapan yang tersisa masa ke masa
Bila ananda pulang
ibu ‘kan masih nyalakan api
Kita membakar semangat
bersama jagung yang ditanam di ladang cinta
Lalu bercerita tentang hidupmu di padang sabana
Kepada anakku tersayang,
Bila hari sudah senja
Ibunda menanti datangnya pagi
Bersama nera yang berbinar di langit ManggaraiIbunda panjatkan doa kepada Mori Jari Agu Dedek
Kepada anakku tersayang
Bila kau tatap raga sang mama
Taulah kau aku sudah tiada
Bersama bapa yang panjatkan doa dari keabadian
Biarkan potret kami jadi saksi atas cinta yang menyata hari ini
Cinta kami berbuah kesempurnaan
Lalu kami persembahkan buah rahim kami kepada Sang Khalik
Biarlah jubah nan suci membungkusmu yang kudus
Kepada anakku tersayang
Di mata kami tak ada lagi air mata
Hanya nyanyian Salam Maria dan Gloria bagi-Nya
Menyambutmu yang gagah bersama stola dan kasula di Natas Lentang
Hari ini
Seperti saat rasa haru kami melepasmu pergi ke ladang semai seminari
Kini air mata itu menjelmakan jubah nan suci
Gembalakanlah domba-Nya dalam Serikat Sabda Allah
Doa kami kan terus terpapah
Semoga harapan dan terang itu kau bawa dan terus bercahaya
Saya sendiri sebenarnya tak menyebut rangkaian kata-kata di atas sebagai puisi. Tak lebih dari sebuah refleksi. Bagian lain dari ekspresi rasa haru. Tapi jauh menukik pada sebuah kondisi, dimana hari bahagia, seperti tahbisan Reverendus Pater Iwantinus, SVD, tak pernah disaksikan sang ibunda dan ayahanda. Bersambung. []
# Okt, 2020
Timoteus Rosario Marten