![]() |
Ilustrasi - Pixabay |
Setetes demi setetes ia jatuh. Cairan dalam botol berukuran satu liter itu berisi cairan glukosa. Memasuki tubuhku melalui selang kecil pada pembuluh darah.
Pelan, pasti, dan terarah melalui pembuluh lengan kiri. Diselingi suntikan para suster dan mantri.
Saya hanya menatapnya dalam-dalam. Sedalam tatapan mata batin tatkala memaknai sebuah "penantian". Menanti tetesan glukosa hingga jatuh terakhir.
Empat malam berlalu, pemandangan ini tak ubahnya sebuah kerinduan untuk lepas dari ikatan dan lilitan selang, bantal dan tilam. Saya hanya menunggu, menatap, pasrah dan berharap pada "keberakhiran". Merdeka dan bebas dari keterikatan.
Empat malam, empat hari adalah hari, dimana, berkat dan mukjizat terjadi juga di sini. Istimewa. Luar biasa kasih-Nya, karena napas kehidupan masih dihirup.
Apa yang dinamakan jemu, titik "ter-ngeh" dalam dan di sini juga dilalui. Tapi itulah proses yang tidak bisa tidak, harus segera dilalui bersama tawa dan senyuman: yang kelihatan dan tidak terlihat. Bersama kunjungan nyata dan batin. Doa dan harapan para saudara dan rekan.
Betapa beruntunglah kau yang bebas tanpa rasa sakit. Ataupun melalui rasa sakit dan kini merdeka, sebab demikianlah hidup sejati.
Itu beberapa tahun lalu, 2016, ketika di sebuah ruang sunyi, di RS Dian Harapan Jayapura, saya terbaring lemah karena opname. Namun saat itu saya tetap kuat merapal syair doa batin atas usia yang baru pada 24 Agustus.
Kisah itu, kini terpajang pada memori kertas digital. Hari ini? Ya, hidup bagai tetesan glukosa saat berbaring lemah menyambung napas yang tersengal itu.
Ulang tahun itu, sebenarnya lompatan waktu. Barangkali mengejar kematian dan meninggalkan jejak-jejak neraka. Bukan umur panjang.
Kali ini, di tengah pandemi, lembaran itu dibuka. Saya teringat sebuah cerita.
Tersebutlah sebuah kisah. Siput dan kijang berlomba lari. Dengan angkuh kijang berkata, "ayo siput kita lomba lari."
Kijang pesimistis bahwa siput menang. Over PD. Sedangkan siput optimistis bahwa dia menang. Tapi bukan lari pakai kaki. Pakai otak.
Siput pun menerima tantangan si pelari yang angkuh. Dia mau lomba pakai kaki, tetapi dia hanya punya perut dan cangkang.
Lalu dia mulai konsolidasi. Undang semua bangsa siput. Bikin trik nyentrik tak terlacak.
Mereka berbaris dengan jarak kira-kira satu meter. Sampai finish. Tinggal hitung saja. Dari start sampai finish.
Dengan angkuh si kijang memberi aba-aba. Mulailah larinya. Entah berapa ratus meter. Yang pasti bukan sprinter.
Semakin mendekati finish, si kijang capek dan akhirnya menyerah kalah. Entahlah dia sudah mati? Mati sudah.
Akhirnya diumumkan bahwa pemenangnya adalah siput. Kijang tidak tahu bahwa siput sudah lebih dulu berada di garis finish, sebelum dia start dengan angkuh.
Cerita ini saya baca suatu ketika. Entah tahun berapa dan dimana? Saya lupa. Tapi saya masih ingat, kemudian ditulis kembali dalam versi yang berbeda dan tak meninggalkan esensinya. Intinya soal itu tadi: kijang dan siput. Berpacu dalam waktu.
Kadang saya berpikir, bahwa saya adalah siput. Larinya lambat. Mendayu-dayu.
Kadang-kadang juga seperti Chairil Anwar dalam Derai-Derai Cemara-nya, "hidup hanya menunda kekalahan." Sekali berarti sudah itu mati. Ah, Tuhan. Tapi seketika bangkit. "Aku ingin hidup seribu tahun lagi." Ai mamamia e.
Memang, setiap orang menjalani dan memaknai hidup dan kehidupannya. Tiap orang beda. Tidak mungkin sama. Kalau pun sama, mungkin kebetulan memaknai cara ber-ada yang sama.
Waktu, di ujung senja ada tawa dan air mata. Waktu terus melaju. Aku belum maju-maju. Maju tak gentar kaki gemetar. Langkah tertata, kata-kata terbata.
Tapi gita cinta terus menggema. Bergema di lorong-lorong hati hingga langit-langit kepala.
Di tiap perhentian waktu, ada yang memberi salam. Yang terucap dan tak terucap. Semua karena cinta. Satu dalam cinta. Cinta Yang Agung.
Di balik yang tak terucap, ada tangan-tangan rapuh yang nyaris luluh tuk menenun doa yang utuh, dan merenda harapan meski keluh. Itu dia, Sang Mama. Jelmaan dari Allah Bapa berhati ibu. Salve Regina Mea. Amo Te.
Ketika merefleksikan hari ulang tahun pada 2021 di tengah pandemi covid-19, saya begitu tertohok untuk menulisnya. Menulis yang santai tentang ulang tahun itu.
Kami memang tak punya tradisi merayakan ulang tahun di dalam keluarga, sebab itu tradisi barat, yang datang seiring perkembangan dunia. Namun demikian, tidak berarti tidak ada hak untuk merapalkan rasa syukur, atas semua cinta yang telah diterima.
Seiring pengetahuan dan pengalaman yang bertambah, rasa syukur bolehlah ditulis di sini, sehingga kelak menjadi kenangan. Lalu direfleksikan kembali. []
#2021
Timoteus Rosario Marten