![]() |
Noken Papua terdaftar di UNESCO, 4 Desember 2012 sebagai
warisan budaya takbenda - Dokpri |
Tas beken itu bernama noken. Bentuknya yang unik berhasil memikat UNESCO tahun 2012. Kau keren kalau pakai noken, karena noken bukan hanya warisan budaya orang asli Papua dan nasional, melainkan juga warisan budaya takbenda milik dunia. Maka jangan mengaku cinta Papua, apalagi mengaku orang Papua, kalau tidak memakai noken.
Kata-kata yang saya tulis di atas itu semacam tukilan. Konteksnya ketika saya menulisnya adalah refleksi hari noken 4 Desember saban tahun.
Meski Desember masih beberapa bulan lagi, saya kira tulisan ini tetap relevan, mengingat pada 2 – 15 Oktober 2021 dihelat pesta akbar olahraga nasional empat tahunan di Provinsi Papua, Pekan Olahraga Nasional (PON) XX 2021, yang diikuti 34 provinsi di Indonesia.
Agaknya tulisan ini terlalu lebay atau apalah sebutannya. Namun tulisan ringan akhir pekan ini semacam refleksi kritis. Sedianya menjadi gambaran sebelum kau membeli dan memakai noken. Selagi masih pesta dan bereuforia dengan PON, saya kira tidak salah kawan-kawan membaca artikel tentang “Jangan bilang cinta Papua kalau kau tidak pakai noken” ini. Siapa tahu pengunjung dapat membeli noken sebagai salah satu dari banyak cendera mata uniknya.
Judulnya juga agak PD alias percaya diri atau over acting alias MPO (menarik perhatian orang). Namun saya punya alasan tertentu. Sebelum membeli noken bacalah dulu artikel ini sampai selesai, siapa tahu artikel ini akan menambah informasi dan inspirasi.
Setiap kali peringatan hari noken, banyak kawan saya yang menulis semacam ucapan selamat atau mengunggah foto sedang memakai noken. Ada yang sekadar ikut rame. Tak kurang juga menitipkan pesan untuk melindungi dan menghargai karya kreatif orang asli Papua, yakni noken.
Ucapan Selamat Hari Noken merujuk pada tanggal pengakuan, dan penetapan karya kreatif mama-mama Papua ini oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan PBB atau United Nations Educational, Scientific and Culture Organization (UNESCO), 4 Desember 2012 di Prancis. Ketika itu dunia melalui badan ini mencatat noken sebagai warisan budaya takbenda dari Papua.
Pengakuan terhadapnya terwujud setelah empat tahun Titus Christ Pekey dari Lembaga Ekologi Papua berjuang ekstra keras melakukan penelitian beberapa bulan di sejumlah wilayah adat, dan mempromosinya hingga ke meja UNESCO.
Perjuangan anak koteka asal wilayah adat Meepago ini tidak mudah. Hingga kemudian berbuah kepuasan batin dan kebanggaan, serta semangat dan adanya sense of belonging atau rasa memiliki. Bahwasannya karya-karya tangan terampil dan ide-ide cemerlang yang tercipta melalui noken diakui dunia melalui UNESCO.
Tidak mudah memang membawa harta-budaya semacam noken ke meja dunia dan diakui sebagai warisan dunia. Tentu melalui kajian-kajian, penelitian dan segala tetek-bengeknya yang bersifat ilmiah, rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Noken itu semacam tas tradisional. Ada juga tangan-tangan terampil yang memodifikasinya menjadi gelang, sepatu noken, dan penutup kepala. Bahan baku pembuatannya berasal dari serat kulit kayu atau anggrek hutan. Setelah dikeringkan dan menjadi semacam benang, mama-mama membuat noken dengan berbagai bentuk.
Sebagai tas tradisional, fungsinya bermacam-macam. Sesuai kebutuhan. Masyarakat adat Papua di tiap wilayah adat mengggunakannya sesuai kondisi dan filosofi setempat. Ada yang menggunakannya untuk menyimpan hasil buruan, hasil-hasil kebun, menggendong atau menenangkan bayi, menyimpan sirih-pinang, dan lain-lain.
Saya senang menggunakan noken. Saat ke kampus sewaktu kuliah di Jayapura, noken adalah tas yang simpel untuk menyimpan buku, balpoin, rokok, pinang, ponsel, bahkan laptop. Memang praktis.
Ketika melakukan kerja jurnalistik, perjalanan keluar rumah atau kota, dan momen-momen lainnya, noken bahkan menjadi teman perjalanan. Kawan-kawan saya, yang berada di luar Papua, kerap meminta oleh-oleh atau cendera mata dari Papua yang khas dan unik. Saya menyarankan noken sebab mudah saya jelaskan nanti selain alasan praktis.
Selain sudah didaftar UNESCO, noken dicatat dan masuk Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI). Pada Oktober 2013 sebanyak 652 noken dibuat oleh 350 mama Papua berhasil menyabet rekor MURI. Manajer MURI ketika itu menyebutkan, noken memenuhi empat kriteria, yaitu, unik, paling atau ter dan langka.
Lalu pada peringatan hari ulang tahun Kemerdekaan RI tahun 2016, noken sepanjang 15 meter dan lebar 10 meter yang dibuat mama-mama di Kampung Homfolo, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura dicatat MURI. Noken sebesar itu dibuat selama sebulan.
Pengunjung pameran Papua Week di ASEAN-Japan Center, Tokyo, Jepang tertarik pada noken. Tribunnews.com pada 13 Juni 2015 melaporkan, pengunjung bertanya-tanya tentang proses pembuatan dan bahan baku noken itu.
Dalam rangka menyambut hari noken juga tak cukup dengan menulis ucapan dan euforia di laman medsos, diskusi, pergelaran atau pameran. Lebih dari itu, tulisan atau apapun bentuknya harus berwujud pada aksi—ajakan untuk berbuat.
Berbuat sesuatu untuk kelestarian noken dan alam Papua sebagai penyedia bahan bakunya bisa dilakukan dengan aneka macam cara. Salah satu cara sederhana adalah memakai noken tiap hari, menanam pohon sebagai bahan bakunya, dan barangkali menjadi salah satu mata pelajaran muatan lokal di sekolah.
Pemerintah daerah juga harus peka terhadap hal ini meski sudah ada aturan untuk memakai noken bagi Aparat Sipil Negara (ASN). Kita juga—terutama perempuan muda Papua—mesti belajar bagaimana menganyam noken. Jika sudah mengetahuinya, pengetahuan itu harus ditransfer kepada anak-anak cucu, keluarga atau generasi selanjutnya. Jika tidak demikian, siapa yang mewariskannya nanti jika kitorang su mati?
Kitorang juga harus bahu-membahu, baku dukung, dan baku kasih ingat, untuk menjaga harta pusaka dari Papua ini. Sekarang atau tidak sama sekali.
Menilik judul artikel nan santuy ini, saya punya sepuluh alasan sehingga dengan PD mengatakan “jangan bilang cinta Papua kalau tidak memakai noken”.
![]() |
Mama-mama Papua ketika menganyam noken saat Hari Noken 4
Desember 2018 di depan auditorium Universitas Cenderawasih, Abepura - Dokpri |
Pertama, noken adalah karya kreatif yang dimiliki orang asli Papua dari 270-an suku di Provinsi Papua dan Papua Barat. Saya melihat di sejumlah tempat memang ada tas samping yang menyerupai noken ini. Namun itu berbahan kain (tekstil).
Bisa saja bahan bakunya sama, tetapi belum tentu proses pembuatan dan filosofinya sama dengan noken Papua. Di daerah asal saya di bagian barat Pulau Flores, memang punya tas tradisional seperti ini. Namanya mbere. Bahan bakunya adalah daun pandan (re’a) yang diberi pewarna (matang) sehingga terlihat keren.
Proses pembuatannya (rojok) memang rumit. Daun pandan dikeringkan, dimasak, dijemur lagi, diberi sumba kemudian dianyam. Tali dan bagian tepinya diberi kain merah (gereng). Namun mbere tidak tahan air, sehingga dia akan cepat rusak jika kehujanan atau kena air.
Di tengah tren wisata seperti sekarang, mbere perlahan dimodifikasi dengan bentuk lain, tetapi berbahan kain tenunan atau kain songke. Namun demikian, mbere tetaplah mbere. Mbere tidak akan sama seperti noken. Noken Papua mendapat tempat di hati orang-orang Papua dan dunia;
Kedua, praktis dan ramah lingkungan. Coba kau bayangkan, lebih praktis mana, apakah memakai noken atau tas produksi perusahaan raksasa yang super ribet itu?
Lagian, noken bisa jadi sebagai alternatif sebagai kantong daripada menggunakan plastik kantong jika berbelanja sembako dalam skala kecil. Ramah lingkungan coy! Hitung-hitung kita bisa membantu penduduk dunia untuk mengurangi pemanasan global;
Ketiga, ekonomis. Tentu saya yang supel sederhana ini lebih memilih noken yang harganya cuma Rp 50 ribu daripada membeli tas seharga Rp 250 ribu misalnya. Atau membeli noken berbahan anggrek dan kulit kayu pilihan dengan banderol sejuta rupiah daripada tas-tas produksi perusahaan modern;
Keempat, kau semakin mencintai Tanah Papua, hutan Papua dan orang-orang Papua. Setidaknya ini menurut pemahanan dan pengalaman saya sejak merantau dan tinggal di Papua tahun 2009.
Memang tidak berarti dengan membawa noken ke mana-mana seolah-olah kita memproklamirkan diri atau terkesan lebih mencintai tanah dan orang-orang Papua daripada orang lain. Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu?
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan memang. Ya, itu tadi. Menggunakan noken sebagai salah satu alternatifnya;
Keenam, mencintai, menghargai, dan berempati pada mama-mama Papua sebagai pembuat noken. Di pinggir-pinggir jalan, di sekitar tempat perbelanjaan modern, dan lapak-lapak pinang, kita dengan mudah menemukan mama-mama penjual noken.
Sambil menunggu pembeli mereka menganyam noken. Duduk lesehatan. Beralaskan karung atau karton, di bawah langit Papuana yang terik. Mandi keringat.
Ketika kau lewat di depan mereka dengan mobil mewah, motor keren, atau berjalan kaki, saya kira menyisihkan Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu untuk membeli noken tidak salah juga;
Ketujuh, multi fungsi. Seperti dijelaskan di atas, noken itu multi fungsi. Dia bisa dijadikan tempat menyimpan hasil kebun, hasil buruan, rokok, korek, buku, balpoin, ubi, bayi, dan lain-lain;
Kedelapan, kampanye selamatkan hutan. Saya kira tidak berlebihan bila dikatakan bahwa menggunakan noken merupakan salah satu bentuk kampanye menyelamatkan hutan Papua.
Hutan Papua diketahui sebagai paru-paru dunia. Di dalam paru-paru dunia ini pohon-pohon dan bahan baku pembuatan noken tersedia. Jika hutan itu ditebang, maka bahan baku juga habis dan noken tinggal sebuah nama;
Kesembilan, ini Papua. Ini Papua kawan, tanah yang sumber daya alamnya melimpah. Sangat ironis jika kau tinggal di Tanah Papua, tapi kau enggan menggunakan noken. Bila kau lebih memilih tas modis dari pabrik daripada menggunakan noken, apa bedanya orang-orang yang tinggal di luar sana?
Kesepuluh, cendera mata. Noken bisa menjadi cendera mata atau oleh-oleh khas dan unik dari ujung timur Indonesia, Tanah Papua. Siapa pun yang datang ke Papua, akan hampir pasti menjadikan noken sebagai salah satu oleh-olehnya.
Kenapa harus noken? Ya, itu tadi. Noken adalah warisan dunia takbenda dari Papua yang didaftar oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan PBB atau United Nations Educational, Scientific and Culture Organization (UNESCO), 4 Desember 2012 di Prancis.
Kau pasti terlihat keren kalau pakai noken, karena noken bukan hanya warisan budaya orang asli Papua, melainkan juga warisan budaya nasional dan warisan budaya takbenda milik dunia. Maka jangan mengaku cinta Papua, apalagi mengaku orang Papua, kalau tidak memakai noken. []
#2021
Timoteus Rosario Marten