
Perlengkapan kerja I-one studio - Facebook/Laurensius Duhu
Santai di pantai sambil bermain ombak dan pasir itu lumrah. Memotret orang-orang dan suasana pantai juga tidak jarang. Hal yang jarang adalah menjadikan kegiatan memotret sebagai sumber penghidupan.

Dalam keseharian kita pasti melihat orang-orang seperti itu. Gendong kamera lalu foto orang-orang. Dapat uang dan menghidupkan istri dan anak. Kamera dan ketelatenannya adalah uang. Kepercayaan dan momen adalah peluang. Bidikan lensanya adalah kesenian. Waktunya tak akan terbuang sedetik pun.
Mencari penghidupan dengan usaha foto bukan perkara mudah. Apalagi hidup di kota Jayapura, yang biaya hidupnya termahal kedua setelah Mama Kota Jakarta. Namun Laurensius Duhu mengambil risiko itu.
Laurensius berasal dari Cibal Barat. Sejauh 42 kilometer ke arah utara dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Pulau Flores bagian barat.
Dia merantau ke Papua persis usai krisis moneter 1998 dan kejatuhan Rezim Soeharto dengan Orde Baru-nya. Ketika itu Laurensius bekerja sebagai karyawan swasta di salah satu studio foto di Jayapura.
Pada suatu kesempatan dia mengikuti majikannya untuk memfoto para wisudawan/i dan saat yudisium di kawasan Distrik Abepura, Kota Jayapura. Dia mengikuti bos sambil belajar. Memfoto sambil belajar. Belajar sambil memfoto. Semacam pengejawantahan ungkapan "learning by doing".
Setelah menekuni fotografi bersama bosnya, Laurensius tertarik pada pekerjaan yang satu ini. Namun ketika itu dia tak memiliki kamera DSLR.
Untuk mendapatkan kamera profesional seperti para jurnalis foto ini, memang tak semudah mengedipkan mata saat melirik ade nona. Dia pun harus merogoh kocek.
Oleh sebab itu, Lauensius harus membutuhkan waktu bertahun-tahun, untuk menabung dan mengumpulkan modal demi membeli kamera DSLR.
Gayung bersambut. Tahun 2008, mimpi itu terwujud. Dia pun bertekad membeli kamera. Padahal saat itu ia baru saja menikahi gadis asal Pulau Jawa, dan mengarungi bahtera rumah tangga dalam ikatan sakramen perkawinan Katolik.
Keberanian, keyakinan, kemauan, dan kerja keras membuat dia memilih "mata lensa" sebagai profesi dan usaha. Tiap bidikan kamera harus menghasilkan penghidupan. Itu spiritnya.
“Hanya modal kamera awalnya dulu. Beli background buku sekitar Rp 8 juta,” kata Laurensius kepada saya pada suatu kesempatan.
Dia sadar betul bahwa nasihat orang tua melalui go'et atau ungkapan “dempul wuku tela toni” bukan sekadar deretan kata-kata mutiara.
Dempul (tumpul), wuku (kuku) tela (terbelah) toni (punggung), merupakan nasihat orang-orang tua di tanah leluhurnya, yang membuat dirinya gigih.
Ungkatapan ini menjadi salah satu semangat baginya, untuk bekerja keras dan tekun dalam menjalani hidup dan memaknai kehidupan. Apalagi hidup di perantauan, yang harus akrab dengan sengsara dan perjuangan.
Santai dan lengah berarti kawan dari maut. Sepenggal kata doa Bapa Kami, “jangan masukkan kami ke dalam pencobaan/percobaan” dan “berilah kami rezeki pada hari ini” tak cukup hanya diucapkan jika tanpa bekerja atau usaha.
“Saya sering mencari info jadwal wisuda atau yudisium di tiap kampus. Kadang lobi di panitia untuk dokumentasi,’ katanya.
Dia bercerita, satu kali order biasanya mendapat sekitar Rp 4 juta. Satu album 10 sheet foto dan video dokumentasi. Kadang ditaksir Rp 3 juta untuk paket upacara keluarga (suku) atau kenalan.
Pesanan atau orderan memang tidak menentu saban bulan. Sekira dua sampai tiga kali saja. Dia bahkan pernah mendapatkan satu kali orderan sebulan.
Namun penghasilan terhitung lumayan. Jika ditaksir penghasilan didapat sekitar Rp 4 juta sampai Rp 8 juta.
Ketekunan dan kerja keras sejak belasan tahun silam, membuat bapak tiga anak ini, bisa membeli tanah dan membuat rumah di kawasan Entrop, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura.
Hari berganti hari, zaman sudah berubah, persaingan dalam jasa foto begitu tinggi. Kota Jayapura merupakan pusat administrasi Provinsi Papua.
Dengan penduduk sekitar 400 ribu, kota ini menjadi begitu ramai. Ditambah lima belasan perguruan tinggi, puluhan hotel, dan sekolah-sekolah, serta toko dan mal. Hotel-hotel biasanya menjadi tempat dilangsungkan pernikahan, acara-acara dan rapat pejabat kantoran.
“Persaingan tinggi makanya saya tidak pasang layar,” kata pemilik toko fotokopi I-one Foto ini.
Studio foto yang dibangunnya kini menerima pesanan paket foto nikah, prewedding, wisuda, yudisium, rapat kantoran, dan berbagai kegiatan seremonial lainnya.
Dia belum menentukan harga orderan. Hal itu akan dilakukan usai menemukan kata sepakat. Baginya kepercayaan dan integritas itu penting.
Bapak tiga anak ini memahami betul bahwa foto bukan soal gambar, tapi sebuah seni atau fotografi. Bagus tidaknya hasil jepretan terhadap suatu objek, tergantung kreativitas, insting seni, angle dan momen yang dibidik.
Dia berpesan kepada anak-anak muda di Kota Jayapura, agar berani mengambil risiko dalam menekuni hobi, bahkan menjadikannya sebagai pekerjaan profesional. Bahwa talenta tanpa diasah dan ditekuni itu sia-sia. Dia mencontohkan dirinya yang menekuni fotografi hingga menjadikan kegiatan memotret sebagai sumber penghidupan bagi keluarga. []
#2021
Timoteus Rosario Marten