
Ilustrasi - Pixabay
Setiap orang mempunyai pengalaman dalam berkomunikasi atau mengobrol dengan sesamanya, baik dalam pergaulan, maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Saya pun demikian. Artikel ini mengulas sedikit tentang bahasa pergaulan, terutama bila menyapa kawan bicara dengan panggilan khas daerah asalnya. Ini ampuh untuk membuat komunikasi semakin akrab. Setidaknya menurut pengalaman saya.

Saya biasanya dipanggil kraeng oleh kawan-kawan. Bahkan bukan orang Manggarai sekalipun. Itu karena si kawan sudah mengenal saya. Begitu pula saat saya menyapa mereka. Menyapa dengan kata itu. Mengapa?
Saat
di kampung, orang-orang tua juga biasa memanggil kraeng dan sengaji
untuk kawan bicaranya. Misalnya Kraeng Lipus, Kraeng Nabas, Kraeng Nadus, dan
lain-lain.
Sapaan ini juga terbawa-bawa dalam komunikasi nonformal, dalam kehidupan
sehari-hari di lintasetnis. Orang-orang dari etnis lain yang mengenal saya dan
Manggarai, hampir pasti menyapa dengan sebutan kraeng. Kraeng Rigit, misalnya.
Begitu juga ketika saya memanggil mereka. Misalnya menyebut nong untuk
kawan-kawan dari Maumere, ama bagi orang Lembata dan Adonara—yang punya
tradisi tombak paus itu, ame untuk orang Ende, yang punya danau tiga
warna (Kelimutu)—jejak Sang Proklamator, ndoe untuk kawan-kawan dari
Nangaroro, Flores.
Semakin ke sini, sapaan itu terasa akrab dan enak di telinga. Ala biasa karena
terbiasa. Dalam pergaulan sehari-hari, kami biasa menyapa sesama kawan dengan
sebutan khas (bahasa, dialek) daerah masing-masing di Papua.
Misalnya, saya memanggil nai untuk anak laki-laki bagi orang Paniai
(Papua), nayak untuk orang Wamena, Jayawijaya(Papua), napi atau mansar
untuk orang Biak (Papua) dan yauw untuk orang Sentani (Jayapura,Papua)
atau dhoto untuk Tanah Merah (Jayapura, Papua), akut untuk orang
Sorong (Papua Barat), dan nyong untuk orang Ambon (Maluku).
Begitu juga memanggil kawan-kawan dari etnis lainnya; mas untuk orang
Jawa, lae untuk orang Medan (Sumatra Utara)—horas lae! Atau
menyapa kawan-kawan pemilik ulayat Mama Kota—Kemane, Bang?
Menyapa kawan bicara dengan dialek khas atau bahasa daerahnya, tentu semakin merekatkan pergaulan atau relasi sosial. Memang begitulah seharusnya. Demi harmonisasi, solidaritas, rasa respek, dan kepekaan sosial.
Bahasa merupakan salah satu unsur dalam kebudayaan manusia. Heterogenitas
penduduk, suku, bahasa daerah, dan kelompok dalam relasi menjadikan negara ini
unik dan lebih beda. Maka ada slogan berbeda-beda tetapi tetap satu.
Kembali ke kraeng tadi. Atau sengaji. Sengaji dan kraeng adalah bahasa
Manggarai. Kini Manggarai menjadi tiga kabupaten—Manggarai, Manggarai Barat,
dan Manggarai Timur. Maka bahasa Manggarai dipakai penduduk tiga kabupaten yang
berada di bagian barat pulau Flores. Bahasa Manggarai merupakan satu dari
650-an bahasa daerah yang dimiliki Indonesia.
Dulu kraeng dan sengaji merupakan gelar atau panggilan terhormat untuk raja atau gelar tertinggi lainnya. Misalnya, Kraeng Adak, Mori Sengaji (Baginda Raja, Tuan, Paduka, Yang Mulia).
Sengaji tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V Luring. Hanya kata sangaji, yaitu gelar untuk pemimpin kelompok dalam
Kesultanan Bacan, Halmahera, Maluku. Namun kraeng ditemui sebagai gelar
bangsawan di Manggarai sana. Terima kasih KBBI.
Seiring waktu berjalan, sistem kerajaan sudah tiada. Tinggal nama dan sistem
atau model-model serta warisan lainnya. Kini dua kata ini “berubah” rasanya
menjadi lebih familiar untuk semua strata sosial.
Kraeng dan sengaji biasa digunakan untuk kata sapaan “kau” atau Anda, yang lebih sopan, dalam percakapan sehari-hari. Juga untuk kata sandang—seperti kata sri, si dan sang—dalam bahasa Indonesia.
Dari mana asal kedua kata ini? Apakah kata asli bahasa Manggarai atau kata serapan? Untuk menjawab pertanyaan ini, sedianya bisa dilacak dalam jejak-jejak masa lalu. Tanah Manggarai pernah dipengaruhi kerajaan lain di Nusantara, selain Belanda dan Portugis (?) dalam bidang agama, pemerintahan, dan pendidikan
Bila ditelusuri lebih jauh, kedua kata itu tak asing di daerah lainnya. Bagi
orang-orang berbahasa Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan, karaeng merupakan gelar raja atau orang terpandang. Begitu pula
kata sengaji tadi. Di Maluku
(Ternate) ada nama marga Sangaji (kalau saya tidak salah) dan Kampung Sangaji,
Ternate Utara, Maluku Utara.
Jejak dua kata bahasa Manggarai di atas, bisa jadi punya kaitan dengan
Bugis-Makassar dan Ternate. Konon, kira-kira abad ke-16 atau 17, wilayah
Kerajaan Ternate dan Goa-Makassar meluas sampai ke Flores dan Kerajaan Bima di
pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ketika itu Manggarai di barat Flores
dikuasai Kerajaan Bima dengan aliansinya Kerajaan Goa, yang dibantu Belanda.
Pengaruh Bugis-Makassar atas Manggarai berakhir dengan ditetapkannya Traktat Bonggo 1669 (Kristiyanto:
2009, 240).
Selain bahasa, pengaruh Bugis (dan Bima) yang menyata hingga kini, di
antaranya, bisa jadi dalam hal penggunaan peci atau songkok. Orang-orang tua
menyebutnya Jongkong Dima. Songkok ini familiar dengan motif tenunan
songke, bergambar komodo (varanus komodoensis), dan motif-motif tenunan
lainnya.
Di kampung-kampung, pemakaian jongkong (topi) menyerupai peci ini
merupakan salah satu (pelengkap) busana resmi bagi orang Manggarai. Saat ke
gereja dan upacara adat bahkan songkok ini dipakai selain sapu (destar—kain
pengikat kepala).
Tak bisa ditampik bahwa relasi kerajaan-kerajaan dan pertukaran budaya dari
luar dengan penduduk setempat di Manggarai zaman dulu, melahirkan apa yang
kemudian kita kenal dengan akulturasi.
Antoropolog Koentjaraningrat mendefinisikan akultrasi sebagai proses sosial
yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing sedemikian rupa, sehingga
unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima, dan diolah ke dalam
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan lokal itu sendiri.
Sama halnya bahasa latin, yang menjadi bahasa resmi Gereja Katolik. Konon
dipengaruhi oleh akulturasi kebudayan Romawi dan Yunani kuno. Jadi, kalau Anda
berwisata ke Pulau Komodo, Labuan Bajo, Kampung Wisata Wae Rebo dan Niang Todo,
situs manusia purba Homo Floresiensis di Liang Bua, dan objek wisata Flores
barat lainnya, hampir pasti disapa kraeng dan sengaji. Atau para pejabat dari
Mama Kota sekelas presiden dan mentri, sudah pasti disapa Kraeng Menteri atau
Kraeng Presiden, Presiden Sengaji dami (Tuan Presiden kami).
Paling tidak, itu adalah sapaan akrab dan terhormat bagi para tetamu yang sudi
mampir dan menengok tana Manggarai yang dikenal dengan sebutan Nucalale.
Sembari menikmati keindahan alam, keunikan budaya, dan keramahan masyarakat di
daerah, yang dikenal punya senyum manis dan ramah itu, jangan lupa kraeng dan
sengaji. Ole kraeng!
Kalau sampai di Nucalale, kraeng akan
terkesima dengan gadis-gadis Manggarai yang aduhai. Siapa tahu bisa mengingat kembali
kenangan pada para Mantan Gadis-Gadis Berambut Tergerai. Disingkat
Manggarai, kata kawan saya, Kristianto Galuwo, suatu ketika. []
#221018
Timoteus Rosario Marten
2 Comment
Mantap Kraeng mori ema lelak 😁👍👍👍
Trims Oktav, saya siap mampir di blogmu