11/07/2021

Oleh-oleh dari Labuan Bajo (Part 1)

11/07/2021

 
Wisatawan foto di Pulau Padar - Kristian Nempung

Perempuan itu setengah berlari. Napasnya ngos-ngosan. Mereka
mau pulang dan kami bertemu rombongannya di jalan pulang, sedangkan kami baru menginjak pulau ini. Mereka adalah grup pelajar dan dia seorang guru rupanya. Saat berpapasan dengan kami, dia berpesan agar hati-hati saat menginjak Rinca.

 

Setelah itu mereka berlalu, dan kami melanjutkan perjalanan menemui komodo. Sewaktu di pintu masuk Loh Buaya tadi kami menemui komodo tertidur pulas di siang bolong. Kami tak menyangka itu adalah kadal raksasa bernama Latin Varanus komodoensis, sebab warnanya hampir pasti menyatu dengan tanah.

 

Beberapa meter kemudian kaba lambar (kerbau liar), rusa, dan anak komodo yang melompat-lompat nakal di balik bebatuan dan pohon asam, adalah pemandangan lain di sisi kiri-kanan jalan.

 

Saya masih mengingat pesan sang ibu tadi agar hati-hati. Tangan jangan bergoyang- goyang saat foto bersama ora (nama lokal komodo), karena dengan demikian kita dianggap musuh yang harus dijadikan santapan lezat.

 

Dia diam-diam mengintai musuh. Suka mengendap di semak belukar, lumpur, lubang batu, dan pepohonan, lalu menyerang secara tiba-tiba dan menggigitnya. Liurnya mengandung bakteri dan jaringan racun yang mematikan. Diam-diam pula dia menggigit mangsa dan membiarkannya sampai santapan itu lumpuh dan roboh.

 

Komodo memang suka “maen gila” saat siapa pun melakukan gerakan tambahan. Beruntunglah sang ibu tadi. Malaikat diutus untuk menyelamatkannya melalui para ranger. Itulah kenapa mereka pulang secepatnya, barangkali.

 

Jangan juga memakai baju merah karena itu dianggap sebagai warna darah oleh komodo. Pengunjung yang punya luka dan perempuan yang sedang mengalami menstruasi dianjurkan untuk tidak ke sana. Kalaupun terpaksa, harus melaporkan kepada rangers dan membutuhkan pendampingan.

 

Penciuman sang naga terakhir di bumi ini sangat tajam. Dia bisa mencium bau darah atau daging dari radius sekitar sepuluh kilo. Luka dan “aroma menstruasi” dianggap sebagai daging.

 

Kira-kira begitu cerita tentang Rinca beberapa tahun silam saat saya masih berseragam putih abu-abu dan putih kuning di Labuan Bajo dan pesiar ke Rinca. Saya lupa persis tanggal berapa, tapi kepingan cerita tadi, sedianya menjadi pengantar tulisan receh nan santuy ini. Sekadar bernostalgia tentang pulau yang juga punya banyak kerbau liar itu.

 

Kali ini saya tidak melanjutkan cerita Rinca, karena memang pulau ini ditutup per 26 Oktober 2020 hingga 30 Juni 2021 ketika tulisan ini dibuat. Diketahui bahwa Pulau Rinca ditutup karena sedang dibangun mega proyek, sarana dan prasarana (sarpras), Jurassic park, geopark atau apapun namanya, meski ditentang banyak pihak, karena dianggap merusak lingkungan dan bertentangan dengan undang-undang konservasi.

 

Ketika laut masih biru dengan arus yang begitu kencang, kapal kami berjalan selouw pada 2 Desember 2020. Saya mengekor kawan saya, Kristian Nempung, guide dari Komodo Exotic Tour, yang dengan baik hati menjadikan saya dan adik Ones menjadi krunya pada trip kali ini, untuk mengantar serombongan tamu lokal. Kebetulan ini tamu pertama beliau setelah pandemi virus corona menghantam jagat raya sejak akhir Desember 2019. Saya menjadi fotografer amatir dan kami satu tim.

 

Oya, sedikit bocoran, siapa pun pembaca artikel ini, dan membutuhkan guide bila melakukan tour ke Labuan Bajo dan TNK, serta daratan Flores, kalian bisa menghubunginya, dan saya yakin dia adalah guide yang Anda cari.

 

Kembali ke trip tadi, normalnya, ketika dulu bermotor dengan dua mesin, pelayaran ke Pulau Komodo dibutuhkan sekitar enam jam dari Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, sedangkan ke Rinca sekitar empat jam. Rinca dan Komodo berdekatan. Di tengahnya ada Padar atau Gili Lawa. Ketiganya adalah pulau besar dari 147 pulau di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).

 

Trip dari pulau ke pulau, dari Labuan Bajo hingga beberapa spot di taman nasional seluas kira-kira 173 ribu hektare ini, membuat perjalanan kami menyita energi. Dari Pulau Kelor, Siaba, Kelelawar, Padar, Pantai Pink hingga Pulau Komodo.

 

Pulau ini dinamakan komodo karena memang terbanyak habitat sang ora. Namun populasinya hampir pasti berkurang tiap tahun. Pada tahun 2018 saja sekitar 2.872 ekor dan hanya 2.800 ekor pada tahun 2019 menurut laporan Kantor Berita Antara 16 Juli 2019.

 

Kami tak langsung trekking dan narsis begitu tiba di Loh Liang, Pulau Komodo. Harus mendengarkan penjelasan rangers tentang TNK, komodo, panduan perjalanan, satwa, cuci tangan, dan wajib memakai masker. Setelah itu kami bisa melakukan trekking dan melihat komodo.

 

Hari semakin siang, udara semakin panas. Sengatan matahari tak mampu ditapis. Sedangkan trekking untuk menyusuri jalan setapak, pohon asam, lontar, dan disambut maleo dan rusa, harus dilakukan.


Pulau Komodo masih sunyi ketika motor kami merapat ke dermaga. Beberapa rangers menyambangi kami dan memperkenalkan protokol kesehatan: cuci tangan, pakai masker, dan lain-lain, mengingat ini masa pandemi. 

 

Pohon-pohon yang daunnya menguning masih tegak berdiri. Para penduduk dan penjual souvenir dengan sabar menanti tamu yang menyambangi pulau. 

 

Beberapa menit kemudian, setelah melalui kubangan buatan, pohon lontar, jalan setapak, dan aneka pohon yang dilindungi, kami melihat komodo “komodo jablay”. Saya meminjam istilah kawan komika jebolan Suci 4 Kompas TV, Abdur Arsyaad, bahwa komodo jablay yang saya maksudkan adalah komodo berusia sekitar 40 tahun.

 

Seorang ranger berkata, komodo ini hanya bermalas-malasan. Ia tak bergerak ketika kami mendekat. Memang umumnya komodo adalah binatang pemalas nan ganas. 

 

Namun ada satu komodo jablay yang kami jumpai. Dia hanya mampu lari jarak pendek. Berhenti setiap 1 meter, sebab badannya terlalu berat. Bisa mencapai 200 kilogram. Umumnya komodo memiliki kecepatan sekira 18 sampai 20 meter per jam dan tak bisa belok arah alias lari lurus.

 

Geser sedikit ke kiri, kami bergaya ria di depan seekor komodo lainnya, yang setelah difoto lidahnya yang bercabang itu menari-nari, hingga berjalan pelan meninggalkan pengunjung. Pengunjung saat ini cuma kami.

 

Rupanya kapal turis yang hari ini merapat ke Pulau Komodo tak sampai lima. Memang sepi. Menurut “Kabupaten Manggarai Barat Dalam Angka 2020” terbitan Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 221.703 turis dengan 77.635 turis lokal dan 144.068 turis asing pada tahun 2019, sedangkan menurut laporan Antara 7 Januari 2021 jumlah kunjungan per 2020 hanya 51.618 orang—turis lokal 38.529 orang dan 13.089 turis asing.

 

Penurunan ini dimaklumi karena memang pandemi belum selesai. Kami melakukan trip bersama tamu setelah pemerintah membuka kunjungan ke destinasi wisata Labuan Bajo, tetapi khusus turis lokal.

 

Pulau Komodo telah dipilih sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia versi New7Wonders yang diumumkan Sabtu pagi, 12 November 2011, dan menjadi situs warisan dunia UNESCO tahun 1991. Pulau Komodo berada di dalam Taman Nasional Komodo bersama Pulau Rinca. Taman Nasional ini termasuk di dalamnya adalah Pulau Rinca, yang sedang ditutup itu sejak foto komodo viral mengadang dump truck akhir dua tahun lalu. 

 

Jika ini akan selamanya menjadi wisata premium dan cuma “turis premium” yang dapat mengunjungi Rinca dan TNK umumnya—seperti kabar yang tersiar di tengah masyarakat, maka orang biasa yang tak beruang seperti saya, bisa jadi hanya bernostalgia. Namun, saya yakin Flores sedang baik-baik, dan pelesirlah ke sana, kawan.  Flores paradise. Catatan kecil ini adalah satu dari banyak oleh-oleh liburan saya, yang coba saya tulis, meski harus bongkar-bangkir file yang tercecer. Bersambung. []

 

 #Jpr, 2021

Timoteus Rosario Marten


Show comments