![]() |
Pulau Flores - Google Map |
Tulisan ini lahir dari sebuah kerinduan anak manusia yang melintasi pulau-pulau dan lautan Nusantara, dan kembali pulang ke rahim Flobamora – Flores, Sumba, Timor, Alor atau Nusa Tetap Tersenyum bernama NTT.
Ketika fajar menyingsing di timur, lalu menampakkan senja, di situ rindu ini merundung angan, yang kadang-kadang dihapuskan oleh kenikmatan semu, oleh buaian manja para penikmat keringat, lalu hening.
Diamnya terpaku sampai titik terendah ibu bumi, napak tilas pada rahim Nuca Lale, pada gugusan pulau yang memikat Kapten Tasaku Sato, Komandan Pasukan Pengawal Laut Jepang, 1942-1945, semasa Perang Dunia II, dengan "I Remember Flores"-nya.
Flores yang dikenal sejak abad 16 oleh pelaut Eropa dan beberapa abad sebelumnya oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara karena kayu cendana dan pulaunya yang eksotis, memang selalu mendatangkan inspirasi untuk menulis.
Entah nirfaedah, tapi tulisan ini berkisah tentang rahim yang melahirkan ribuan kesan, tentang rahim yang melahirkan aneka daya pikat hingga pelaut Portugis dan Spanyol menyinggahinya 500-an tahun lalu saat pelayaran Malaka dan Maluku.
Sebelum melangkah lebih jauh, perkenalan tentang alam Flores adalah sebuah keniscayaan; sebuah keharusan, sebuah bab pertama. Inilah saatnya untuk tahu tentang Flores. Minimal dari nama, yang kemudian orang berkata, nama adalah tanda atau tak kenal maka tak sayang.
Masyarakat pulau ini sering menyebut Flores dengan Nusa Bunga, Nusa Indah, Nusa Nipa, Pulau Flores, Pulau Ular. Di bagian baratnya ada Manggarai (Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat) berbatasan dengan Selat Sape dan di timur sana terdapat Flores Timur dan gugusan pulau Adonara, Solor, dan Lembata.
Sebagai gambaran, nama Flores berasal dari bahasa asing, tepatnya Portugis. Bahasa Latin dan Portugis untuk bunga sama, yaitu, flos (singular) artinya bunga dan flores (plural) berarti bunga-bunga, sedangkan bunga dalam bahasa Inggris adalah flower (singular) dan flowers (plural). Bahasa Spanyol juga sama dengan bahasa Latin dan Portugis, yakni dan flor untuk bunga dan flores untuk bunga-bunga.
Dalam Nusa Nipa Nama Pribumi Nusa Flores (Warisan Purba), Pater Sareng Orin Bao (1969) menjelaskan secara detail bahwa nama asli pulau yang dihuni orang Manggarai, Ngada, Nagekeo, Ende, Sikka, Larantuka, dan Lamaholot ini adalah Nusa Nipa atau Pulau Ular (naga).
Penamaan Pulau Ular dilakukan setelah melalui penelitian antropologis, budaya, sejarah, dan filosofi masyarakatnya. Tanjung Bunga atau Cabo de Flores yang diberi oleh pelaut Portugis pada ujung timur nusa ini dinilai terlalu gegabah dan justru tidak memperhatikan filosofi atau kearifan lokal dan keadaan penduduk setempat di ujung timur itu. Dia akhirnya tetap berkesimpulan bahwa Nusa Nipa adalah nama asli Pulau Flores.
Dalam syair-syair yang dia dokumentasi, disebutkan bahwa ular itu kepalanya di timur dan ekor di bagian barat. Demikian syair itu:
“Nusa Nipa (Nusa Nipa), Ulu beu eko bewa (Kepala djauh ekor memandjang), Ulu gheta Kowe Djawa (Kepala kedjurusan Kowe Djawa), Eko ghale Badjo Bima (Ekor kedjurusan Badjo Bima)."
Nama Pulau Ular atau Nusa Nipa, kemudian, paling tidak, diyakini sebagai "kebenaran umum" meski tak dapat disangkal bahwa penghuni pulau ini—dari barat ke timur—bukan monopoli satu suku dan bahasa, melainkan terdiri atas beragam suku, bahasa, dan tradisi, yang kemudian memiliki ikatan emosional sebagai satu keluarga atau familiar di kalangan peneliti sebagai ikatan kolateral.
Staf Dispar Kabupaten Sikka, Laurensius Lepo menyematkan Flores—selain Nusa Nipa yang diperkenalkan Sareng Orin Bao (1969) sebagai Pulau 1000 Salib, Pulau Gading dan Pulau Pancasila. Pulau salib merujuk pada Kristiani Katolik sebagai mayoritas agama penduduknya, pulau gading pada tradisi belis atau maskawin gading di Flores timur, dan kelahiran falsafah Pancasila di Ende.
Bila merujuk Orinbao (1969) dapat ditarik kesamaan soal nepa dalam bahasa Manggarai. Nepa dan naga dalam bahasa Manggarai seperti dikutip Orinbao dari Verheijen artinya ata pali sina (makhluk gaib) atau roh leluhur penjaga kampung.
Naga biasa terdengar dalam ucapan naga beo atau naga tana (roh/leluhur penjaga kampung) atau rang golo dalam keseharian orang Manggarai di bagian barat Pulau Flores.
Budayawan Manggarai dan dosen pada Lembaga Studi-Studi Indonesia dan Pasifik Universitas Hamburg Jerman, Dami Ndundu Toda dalam bukunya Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (1999) dengan tegas membantah penelitian bahwa Nusa Nipa adalah nama pribumi Pulau Flores.
Pada halaman 47-57 dia dengan tegas membantah Orinbao dengan mengutip banyak penulis, baik penulis Spanyol, Portugis, Prancis, maupun penulis-penulis atau dalam catatan dari Nusantara. Ia menuding Sareng Orinbao terlalu ambisius menjawab pertanyaan bahwa nama pribumi Pulau Flores (hlm. 51) adalah Nusa Nipa.
Orang-orang Manggarai di bagian barat menyebut daerahnya dengan Nuca Lale atau Lale Lombong. Ucapan ini biasa terdengar dalam syair-syair atau goet.
Lale adalah nama pohon atau haju lale (pohon benda atau bendo) yang banyak tumbuh di Manggarai. Dia adalah pohon sejenis pohon sukun.
Eddy Kristiyanto (2009) dalam bukunya Khresna Mencari Raga Mengenang Kehadiran Fransiskan (di) Indonesia menyinggung tentang Manggarai yang disebut sebagai Nuca Lale. Kata lale mempunyai hubungannya dengan nama pohon (artocarpus elastic) dan nuca atau nunca adalah nusa dalam bahasa Indonesia (hlm. 239) dan nusa atau pulau dalam bahasa Yunani adalah nesos.
Di daerah Manggarai kata lale tidak hanya merujuk pada nama pohon, nama tempat atau tanah yang sekarang dimekarkan menjadi tiga kabupaten (Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur), tetapi juga nama kampung-kampung (beo) dan nama kebun (uma atau lingko) dengan Lale.
Kata lale juga sering terdengar untuk menyebut warna tertentu, misalnya manuk lale atau ayam lale—cokelat kemerahan.
Mendeskripsikan Flores sebagai Pulau Ular dengan kepala di timur dan ekor di barat tentu dianggap sebagai "kekeliruan" besar, sebab Manggarai justru daerah yang lebih luas dibandingkan dengan ujung timur. Orang Manggarai justru beranggapan—jika memang pulau ular—bahwa kepala ular itu ada di bagian barat dan ekor di timur.
Peneliti Center for Cultural and Religious Studies (CCRS) Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan Bandung, Fransiskus Borgias, nisalnya, dalam blog pribadinya menulis artikel berjudul Nusa Lale.
Dia menulis anggapan kepala di timur dan ekor di barat untuk Pulau Flores tidak proporsional, malah sebaliknya. Fransiskus menyebut “kepala di barat dan ekor di timur” itu seperti ikan koi.
Terlepas dari perdebatan ilmiah para peneliti soal penamaan Flores, yang pasti banyak fakta tak terbantahkan. Fakta-fakta itu misalnya keanekaragaman budaya/tradisi, bahasa, pranata sosial, alam yang hijau, punya gunung-gunung berapi, berada di cincin api pasifik, dan masyarakatnya yang ramah.
Pulau ini berada di pertengahan antara timur dan barat utara dan selatan, dan rumah bagi penelitian arkeologis, budaya, alam, flora dan fauna, dan lain-lain. Sebelum bergabung dengan Republik Indonesia, Flores termasuk dalam Negara Indonesia Timur yang meliputi Sulawesi, Sunda Kecil, dan Kepulauan Maluku dengan ibu kota Makassar.
Negara Indonesia Timur ini dibentuk setelah Konferensi Malino 16-22 Juli 1946 dan Konferensi Denpasar 7-24 Desember 1946. Negara Indonesia Timur (NIT) itu meliputi Sulawesi Selatan, Minahasa, Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor dan kepulauan, Maluku Utara dan Maluku Selatan.
Flores bersama Timor dan Sumba kini termasuk wilayah administratif Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tiga pulau ini merupakan pulau terbesar dari sekitar seribu pulau di Provinsi NTT sehingga NTT juga sering disebut Flobamora--akronim dari pulau-pulau besarnya Flores, Sumba, Timor, Alor.
Nusa Tenggara berdasarkan Keputusan Presiden No.202/1956 perihal Nusa Tenggara termasuk dalam Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 tahun 1950. (Lembaran Negara RIS tahun 1950 No.59) menjadi tiga daerah tingkat I sebagaimana Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957. Lalu berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 menjadi Daerah Swa Tantra Tingkat I Bali, NTB, dan NTT—dan NTT meliputi daerah Flores, Timor dan Sumba.
Pemekaran Sunda Kecil atau Nusa Tenggara menjadi tiga provinsi--Provinsi Bali (diresmikan 14 Agustus 1958), NTB (diresmikan 17 Desember 1958) dan NTT (diresmikan 20 Desember 1958) dengan gubernur pertama Lalamentik dan perubahan nama Sunda Kecil menjadi Nusa Tenggara merupakan gagasan Muhamad Yamin.
Kembali ke Flores, pada masa lalu berada di bawah laut. Gua batu cermin yang memiliki luas 19 hektare merupakan bukti bahwa pada masa lalu Flores berada di bawah laut. Gua ini ditemukan oleh misionaris asal Belanda, Theodore Verhoven pada tahun 1951.
Secara geologis Flores memang masuk dalam zona tumbukan antara lempeng Indo-Australia (ke utara) dan Eurasia (ke selatan) dan 14 kali gempa pada abad ke-20.
Pada masa Perang Dunia II, Flores (Maumere), dan Sumba merupakan markas tentara Jepang untuk menyerang Australia. Flores pernah diusulkan menjadi provinsi otonom pada konferensi Partai Katolik di Sikka tahun 1956 tetapi gagal, dan kini sedang diperjuangkan oleh kelompok yang memperjuangkan Provinsi Kepulauan Flores (PKF).
Ketika mendengar Flores, orang sering mengidentikkannya dengan pulau gersang, sehingga tidak pas disematkan sebagai nusa bunga atau Tanjung Bunga seperti penamaan Flora da Cabo oleh S.M. Cabot abad 16.
Tapi para pelancong punya kesan berbeda. Seorang blogger dan backpacker asal Bandung, Jawa Barat, Ahmad Hamidi, 11 Oktober 2016, bahkan menulis tujuh kesannya tentang Flores, yakni, orang Flores pribadi yang ramah, pulau dengan cekungan-cekungan, lembah-lembah, bukit-bukit dan gunung yang hijau, toleran dan religius, tuaknya sebagai simbol persaudaraan, dan sadar pendidikan.
Ada juga kesan lain, seperti ditulis M. Catur Nugraha , Naval Architect Engineer.
“Pesan saya, jika kamu adalah masih muda maka pergilah ke Flores, resapi perjalanan mu, berinteraksilah dengan orang yang kamu temui, nikmati perjalananmu, maka kamu akan merasa menjadi orang yang sangat beruntung karena dilahirkan sebagai orang Indonesia,” tulisnya.
Tak kurang juga turis asing yang berkesan tentang alam Flores. Misalnya kesan turis asal Belgia seperti ditulis Kompas.com, 25 Agustus 2017. Tak kurang juga Asnida Riani yang menulis pada Fimela.com 26 Juli 2017, sehingga siapa pun harus pelesir ke Flores, apalagi para cewek, karena mereka akan menemukan keindahan alam Nusa Bunga, Pulau Flores, Nusa Nipa, Pulau Ular, atau apapun sebutannya. []
#Ltg 17221
Timoteus Rosario Marten
2 Comment
Pergilah ke Flores dan berinteraksilah dengan orang yang kau temui dan kamu akan bangga jadi orang Indonesiaπππ
Nardi Hamu.
πππ