![]() |
Ilustrasi tarian caci. Pada masa lalu tarian caci biasanya dibawakan saat wagal - Foto/Dokpri |
Artikel ini bertujuan untuk mengulas sedikit gambaran tentang makna belis, maskawin, mahar atau apapun sebutannya dalam budaya atau tradisi meminang gadis, bagi masyarakat Manggarai di Flores, NTT.
Belis dimengerti sebagai pemberian sejumlah uang dan hewan ternak kepada anak rona (pihak orang tua dan keluarga mempelai perempuan) oleh keluarga woe atau anak wina (pihak mempelai laki-laki). Orang Manggarai menyebut belis dengan paca.
Konsep belis yang mengemuka selama ini rasa-rasanya masih keliru bahkan salah kaprah. Paling tidak, sepanjang penelusuran kecil-kecilan saya beberapa tahun terakhir.
Publik, terutama dari luar Manggarai, mungkin menganggap belis sebagai “aktivitas bisnis”, sehingga diksi “belis mahal” kian mengemuka. Faktanya tidak demikian adanya. Hal ini bisa dimengerti jika hanya dilihat dari sisi tawar-menawar, uang dan aktivitas memberi.
Secara kasat mata memang terlihat seperti apa yang kita sebut tadi. Seolah-olah pemberian maskawin menjadi ajang “pertukaran” antara ternak atau sejumlah uang dengan anak gadis.
Benar bahwa saat pemberian belis terjadi tawar-menawar antara woe dengan anak rona yang diwakili juru bicara atau tongka antarkedua belah pihak. Kedua tongka melakukan diplomasi, dan gaya bahasa atau goet-goet yang sangat menarik.
Bila juru bicara dari anak rona meminta Rp 100 juta, maka woe tidak mungkin langsung mengiyakannya. Keluarga kaya sekalipun. Mereka pasti mengatakan hanya mampu memberikan Rp 25 juta atau Rp 50 juta. Minimal di bawah Rp 100 juta. Persis di situ peran tongka.
Pihak anak rona pun tidak memaksakan kepada woe, sehingga kedua tongka harus menemukan kesepakatan bersama, dengan alur pembicaraan yang penuh simbol, ungkapan dan perbandingan (goet-goet) tadi.
Isitlah-istilah mereka sering terdengar, misalnya, woe nelu, wae teku tedeng (air timba untuk selamanya), salang wae (jalan/saluran air) atau salang tuak (jalan/saluran tuak). Setelah kedua tongka menemukan kesepakatan, maka sejumlah uang belis itu diberikan.
Namun publik—mungkin termasuk pembaca artikel ini—tidak mengetahui kemana atau bagaimana uang belis itu digunakan. Praktis hal ini yang akan diulas sekenanya pada artikel sederhana ini.
Pada saat menerima woe, pihak anak rona terlebih dahulu berkumpul untuk mempersiapkan segala hal berkaitan dengan kedatangan mereka. Anak rona pasti memikirkan beberapa hal untuk membuat tenda (bila rumah terlalu kecil) di halaman rumah, mencari kayu bakar, membunuh babi, mengumpulkan beras dan sejumlah uang untuk keperluan saat kedatangan woe.
Bila tiba hari H, saat malam atau pagi hari, dilakukan pemberian belis dan tudak ela wagal (doa pengukuhan dengan mempersembahkan seekor babi). Tudak ela wagal dilakukan setelah semua urusan sudah disepakati.
Pemberian belis orang Manggarai dilakukan melalui beberapa tahapan, seperti, kempu atau weda rewa tuke mbaru (masuk minta), pernikahan (kawing one gereja), dan tahapan terakhir adalah wagal.
Pada zaman dahulu wagal disertai permainan caci saat wagal. Itu pun tergantung kesepakatan atau kemampuan (kekuatan dana) yang dibawakan oleh pihak woe.
Ketika urusan pemberian belis selesai dan woe sudah pulang wagal, maka semua keluarga dari anak rona—baik ase/kae atau wa’u (keluarga satu klan atau disebut panga), maupun seluruh keluarga dalam kampung—berkumpul untuk melakukan evaluasi. Semua hal dibicarakan, termasuk seberapa banyak kekuatan uang dan hewan ternak yang dibawakan oleh woe tadi.
Uang belis yang dibawakan itu dibagi dua, yakni, untuk anak rona (keluarga dari mama si mempelai perempuan—om, nenek) dan untuk ase-kae atau wa’u dari mempelai perempuan.
Uang atau ternak (babi atau sejenisnya) yang diberikan kepada anak rona tadi disebut sabi wai bangkong. Dalam hubungan kekeluargaan orang Manggarai, anak dari saudari disebut bangkong dan cucu perempuan dari saudari disebut wela.
Sejumlah uang yang diberikan atau dibagikan kepada keluarga atau ase-kae tadi, berapa pun jumlahnya habis dibagi rata. Misalnya sebanyak Rp 50 juta, maka uang itu dibagikan sama rata kepada semua keluarga (ase-kae, wa’u) dan anak rona.
Singkatnya begini: Misalnya jumlah anggota keluarga dari perempuan (anak rona) adalah 50 kepala keluarga. Maka uang yang dibawa pihak woe sebanyak Rp 50 juta ini dibagi kepada beberapa pos, seperti, 50 kepala keluarga, anak rona, pelayan-pelayan (mereka yang angkat piring, makanan, minuman dan ibu-ibu yang memasak di dapur). Uang yang dibadikan kepada pelayan-pelayan disebut koso nomber. Secara harafiah artinya uang untuk mengeringkan keringat atas pelayanan mereka selama acara.
Pembagian uang paca tersebut dihitung semua berdasarkan besarnya pengeluaran saat acara wagal itu, mulai dari sejumlah beras yang dibebankan per kepala-kepala keluarga tadi, beli kayu bakar, tenaga pelayan di dapur, beli tuak berapa jeriken, dan pengeluaran lainnya, sehingga jika ditotal saat evaluasi setelah acara, bisa jadi terjadi minus.
Jika setiap keluarga membawa beras sekilo (tergantung kesepakatan), misalkan harga beras Rp 15 ribu per kilo dan uang belanja dibebankan Rp 20 ribu per kepala keluarga, maka kesemua ini dihtung saat evaluasi.
Uang belis yang dibawakan pihak woe tadi secara singkat dapat dikatakan sebagai “uang untuk pesta atau makan bersama” saat wagal, dan selebihnya diberikan kepada anak rona (sabi wai bangkong). Maka uang belis itu klop. Habis dikali-bagikan.
Pada masa lalu, hampir pasti setiap keluarga di kampung-kampung memiliki hewan ternak untuk belis, seperti kuda, kerbau, sapi, kambing, dan babi, sehingga sangat mudah mencari hewan ternak untuk dijadikan belis. Jadi, belisnya berupa sejumlah uang dan hewan-hewan ternak.
Namun, pada masa kini hewan-hewan ternak itu merupakan barang langka. Sebagai gantinya, segala sesuatu yang menyangkut hewan ternak dapat diuangkan atau disesuaikan dengan jumlah uang.
Pejuang feminis atau siapa pun yang merasa berempati terhadap perempuan dan menganggap belis sebagai bentuk lain selain karena adat atau tradisi, saya menduga itu karena ketidaktahuan semata. Itu semata karena mereka hanya melihat seberapa besar jumlah uang dan hewan ternak yang harus diserahkan kepada anak rona oleh woe. Mereka tidak melihat dari hal sederhana seperti pada contoh yang disebutkan di atas tadi.
Hubungan perkawinan orang Manggarai bukan hanya sekali—saat pemberian belis saja, melainkan hubungan selamanya (wae teku tedeng), ikatan antarkampung atau antarkedua belah pihak (anak rona dan woe). Sering disebut woe nelu. Ada juga sebutan wae teku tedeng (air timba untuk selamanya), salang tuak (saluran/jalan tuak), salang wae (saluran/jalan air).
Orang Manggarai mengenal sida. Misalnya saya mau menikah, maka saudari-saudari atau weta yang sudah berkeluarga dan tanta saya (saudari dari bapak) nanti dilibatkan. Sida adalah saat mana keluarga diutus untuk pergi memberi tahu kepada mereka ihwal perkawinan saya nanti. Begitu pun saat ada anggota keluarga yang meninggal. Kedua pihak tadi dilibatkan sehingga harus diutus untuk pergi sida kepada pihak woe (tanta atau saudarai) tadi.
Memang jika dilihat secara baik, bahwa belis betul-betul dilakukan hanya untuk memperlancar atau menyukseskan pertemuan pihak keluarga mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Belis juga merupakan bagian dari warisan budaya nenek moyang orang Manggarai, demi menyatukan atau mempererat hubungan antarpihak anak rona dan woe, selain sebagai bentuk penghargaan kepada perempuan dan ibunya (anak rona).
Hubungan pernikahan orang Manggarai bukan hanya menyangkut hubungan antara mempelai perempuan dan mempelai pria saja, melainkan menyangkut hubungan keluarga besar (bahkan kampung) dari kedua belah pihak. []
#Ltg0221
1 Comment so far
Ingin rasanya mengirim ini ke rangorang yang suka bilang belis = perdagangan perempuan😂
Terima kasih untuk tulisan kerennya, Kaka Timo. Hormat