Bunyinya enak. Kadang-kadang kita dibuat merinding (winggar weki). Juga membongkar kisah-kisah usang.
Padahal itu alat musik sederhana. Lebih tepatnya alat musik tradisional. Terbuat dari buluh atau bambu kecil (helung). Kami menamainya sunding.
Musik ini mengingatkan saya pada sebuah kampung di atas bukit (golo) yang tanahnya memerah, bebatuan, dan ditumbuhi banyak pohon dadap dan kopi robusta.
Di kampung yang berada di atas bukit itu, di bawah Bukit Golo Nosot dan Poco Keli, ada seorang nenek. Namanya Regina Nawos. Dipanggil Ende Gina, Ender Endi, dan familiar disapa Ende Agen.
Tiap sore atau pagi-pagi buta Ende Agen meniup seruling (tebang sunding). Merdu bunyinya (lerem sengetn).
Bunyi serulingnya kadang-kadang membuat air mata berlinang. Bukan hanya oleh karena merdunya, melainkan juga karena cerita atau kisah di balik bunyi seruling itu.
Serasa membongkar mozaik-mozaik kehidupan. Waktu demi waktu saat mendengarnya. Barangkali air mata siapa pun terjatuh juga.
Jenis tiupan seruling itu sebenarnya adalah berkisah. Namanya Letule. Saya tidak tahu artinya, tapi saya menduga penamaan itu merujuk pada bunyinya yang didominasi nada 6 (la).
Etnomusikolog RP Vinsensius Adi Gunawan Meka SVD kepada Araja Channel mengatakan bahwa orang Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengenal nada-nada pentatonik. Di Manggarai Timur dikenal nada do mi fa sol si do, di Manggarai Barat ada nada sol la do re mi, dan Manggarai tengah mengenal nada do mi fa sol si do dengan varian atau campuran dari Manggarai Timur dan Manggarai Barat.
Menurut Pater Sensi musik di NTT jauh lebih bervariatif karena dipengaruhi musik dari Australia dan Papua (timur) dan musik dari Jawa, Sulawesi, Cina, Filipina (barat), karena NTT adalah pertemuan antara timur dan barat.
Bila merujuk penjelasan beliau di atas tadi, setidaknya kawan-kawan punya gambaran dan saya kembali ke letule.
Paslanya letule bercerita tentang peri kehidupan orang-orang zaman dulu, kini, dan nanti. Kadang-kadang yang maha pedih.
Konon dalam syairnya menceritakan tentang anak gadis di suatu kampung. Dan itu biasa dinyanyikan dalam lagu-lagu atau landu, saat pesta rakyat, tarian (caci), dan sesekali pengantar tidur (embong anak geong).
Tapi ketika kata-kata tak terucap, seruling dan musik pada umumnya adalah perwakilannya.
Kepiawaian Ende Agen dalam meniup seruling bernama letule tadi, seperti disaksikan dalam laman youtube Ari Lucio.
Dalam video di laman youtube ini, Ari begitu lincah membunyikan angin dalam lubang-lubang buluh bernama seruling tadi.
Saya bukan pemusik. Bukan juga peneliti musik. Tapi semacam penikmat. Apalagi musik-musik yang di dalamnya tersimpan cerita dan pesan. Soal ini begitu lengkap dalam musik rakyat. Musik tradisional memang punya nilai dan tempat tersendiri.
Tapi dalam diri Ari ini, semua jenis musik itu begitu lengkap dipunyainya. Begitu merdu dimainkan.
Jari-jarinya begitu lincah memetik senar gitar, begitu cekatan menekan tuts-tuts keyboard piano, mulutnya begitu lihai memindahkan not-not dalam seruling, dan pita suaranya begitu terukur.
Sejak kecil, saban sore atau malam, telinga saya begitu jelas menangkap suara dari Ari, yang dengan merdu menyanyikan lagu-lagu kehidupan; lagu-lagu artis lokal dan orang-orang tua, yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Manggarai.
Dia punya akun Youtube . Berisi cover lagu-lagu dan kawan-kawan bisa menonton dan men-subscribe sehingga lagu-lagu terbaru menjadi notifikasi pada layar android Anda. []