Featured Post

Ekspedisi Papua dan peran misionaris Katolik gelombang pertama di Papua selatan

Salju abadi Cartenz - Dok. Penulis Oleh: Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM, biarawan Fransiskan Papua Tahun 1498 Vasco da Gama berkelili...

LATEST ARTICLES

03/11/2022

- November 03, 2022

Tawa Kevin di pangkuan mama

disabilitas
Yohanes Kevintus Aber atau Kevin bersama ibunya, Maria Gareta Lundut usai mendapat kunjungan LMC, Rabu (2/11/2022). - Dokpri/Naratimo.com

Kursi roda itu masih kosong. Posisinya tepat di antara mama-mama yang melingkar di bagian belakang rumah. Sedangkan sejumlah pemuda melingkar di bagian depan. 

 

Rumah panggung sekira ukuran lapangan futsal itu sekejap dipenuhi manusia.  

 

Belum diketahui siapa pemilik kursi kosong beroda ini. Tapi sedetik kemudian seorang ibu berbaju oranye menghampirinya. Dia adalah Maria Gareta Lundut.  

 

Maria memangku seorang anak. Tampak kesedihan dari raut ranum Maria. Tatapan matanya sayu. Suaranya berat.  

 

Anak di pangkuan Maria itu adalah putra semata wayangnya. Buah perkawinan Maria dengan almarhum suami, Arnoldus.  Nama anaknya adalah Kevin. Usianya sebelas tahun.   

 

Namun, anak bernama lengkap Yohanes Kevintus Aber itu tak bisa bicara. Bergerak seadanya.   

 

Kevin juga tak bisa berjalan. Saban hari dia hanya duduk pasrah di rumah. Sesekali tertawa. Kevin menyandang disabilitas. 

 

Kondisi ini membuat Maria harus setia mendampingi sang anak.   

 

Maria dan Arnoldus yang sakit-sakitan merawat Kevin sejak sebelas tahun lalu. Naasnya Arnoldus meninggalkan Maria dan Kevin untuk selamanya pada 25 Agustus 2022.  

 

Arnoldus yang keseharian mengojek itu meninggal dunia, setelah menderita sakit parah lebih dari setahun.  

 

Kini Maria seorang diri merawat Kevin. Maria bahkan harus membanting tulang untuk menghidupi sang buah hati.  

 

Kevin pun terpaksa harus dititipkan di rumah, ketika dia hendak ke kebun untuk bekerja. Rumah ini memang dihuni beberapa kepala keluarga. Keluarga (ase/kae) yang kebetulan tidak ke kebun secara sukarela menjaga Kevin di sini. 

 

Aktivitas sebagai petani tak bisa ditinggalkannya. Semata demi menghidupi sang anak yang menyandang disabilitas sejak dilahirkan sebelas tahun lalu itu.  

 

Lagian tak ada sokongan atau semacam bantuan dari pihak-pihak semacam pemerintah. "Paling du mose eman kali (palingan dapat bantuan sewaktu bapaknya masih hidup)," kata Maria.   

 

Setelah bertahun-tahun lamanya dalam kondisi seperti itu, Kevin boleh duduk di kursi roda.   

 

Dia memiliki kursi roda sejak tiga tahun lalu. Maria tak menyebut pihak yang memberikan kursi tersebut. Hanya satu yang pasti, bahwa Kevin kini boleh bersandar manja di kursi yang menyerupai kursi bayi tersebut.  

 

Udara sejuk pada Rabu siang, 2 November 2022, masih terasa terik. Matahari memanggang kulit warga Kampung Lentang, Desa Lentang, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai, Flores-Nusa Tenggara Timur, yang sedang menjemur padi.   

 

Siang itu, sekelompok anak muda berbaju hitam sontak turun dari motor, setelah beriringan sekira satu kilo jaraknya dari jalan trans-Flores di Desa Ketang, Kecamatan Lelak.   

 

Mereka lalu memasuki rumah Maria begitu tiba di natas atau halaman Kampung Lentang. Sekelompok anak muda ini adalah anggota komunitas motor Lelak Motor Club (LMC).  

 

Kedatangan belasan pemuda ke rumah ini, sekadar menyambangi Kevin dan Maria. Mereka kemudian duduk melingkar. Sedangkan Kevin hanya tertawa dari balik kursinya melihat mereka yang mengopi.  

 

Sembari melihat mereka yang melingkar di atas tikar, di rumah panggung berlantai papan itu, kepala Kevin miring ke kiri dan ke kanan. Seperti limbung.  

 

Sekelompok anak muda tadi dipimpin Kristiawan Sefianto. Kristian adalah Koordinator LMC di Kecamatan Lelak.  

 

Rombongan yang dipimpin pria asal Malang, Jawa Timur, yang memperistri gadis Manggarai, Flores-NTT itu, rupanya membawa buah tangan. Sepeser uang dan sembako.  

Disabilitas dan komunitas motor
Komunitas LMC bersama Kevin dan ibunya. - Dokpri/Naratimo.com

Tampak pula tumpukan papan telur, susu, gula, beras, supermi, pakaian, kacang hijau, dan minyak goreng, di depan mereka.  

 

Komunitas yang baru setahun di Kecamatan Lelak ini memang memiliki visi baku peduli. Mereka juga bervisi menjadi pelopor berkendara yang baik bagi masyarakat.   

 

Aktivitasnya tak hanya turing atau piknik bersama. Akan tetapi, mereka juga mengadakan kegiatan-kegiatan sosial. Misalnya menyantuni janda, anak yatim dan disabilitas.  

 

Pria yang juga pemilik bengkel motor ini, mengharapkan agar Kevin dan keluarga tidak melihat besar-kecilnya bantuan dari komunitas yang dipimpinnya. Namun, lebih dari itu, buah tangan yang mereka bawakan, merupakan sebentuk doa dan kepedulian terhadap sesama, terutama bagi Kevin dan Maria.  

 

Kristian bercerita bahwa komunitas yang dipimpinnya ini, sudah tiga kali memberikan sumbangan untuk masyarakat tak mampu. Satu di Desa Ketang, Kecamatan Lelak. Dua lainnya di Desa Lentang.   

 

Tahun lalu mereka menyambangi janda dua anak di Kampung Pelus. Kali ini mereka menyambangi anak disabilitas dan yatim di Kampung Lentang. Kevin namanya.  

 

Kakek dari Kevin, Romanus Damat mengharapkan uluran tangan instansi terkait di Manggarai untuk cucunya itu. 

 

Bagi Romanus, kegiatan sosial yang dilakukan komunitas LMC, merupakan pembuka jalan bagi siapa saja yang ingin bersimpati terhadap cucunya, yang menyandang disabilitas sejak lahir.  

 

Kevin mungkin satu dari lima ribuan penyandang disabilitas di Kabupaten Manggarai. Barangkali Kevin juga tidak termasuk satu dari data Pemerintah Kabupaten Manggarai yang mendapat bantuan.   

 

Meskipun demikian, Romanus berharap agar Pemerintah Kabupaten Manggarai menjadikan kunjungan LMC sebagai pembuka jalan, untuk menyambangi kaum disabilitas di kampung-kampung atau desa, seperti Kevin dan penyandang disabilitas lainnya di Bumi Nuca Lale.  

 

 "Dasor ita koe hitu le pemerenta ga tei kole bantuan latang empo ho'o (Semoga dengan melihat bantuan hari ini pemerintah juga memberikan perhatian kepada cucuku ini)," kata Romanus.   

 

Hingga komunitas LMC meninggalkan Kevin dan Maria bersama keluarga lainnya, hujan mengguyur Kampung Lentang, siang itu. Sedangkan Kevin menyembulkan tawa di pangkuan Maria.   

 

Tawa dan tatapan Kevin dari pangkuan mama adalah harapan. Bahwa kelak ada pihak lain yang meringankan bebannya.    

 

Di bawah cahaya senja yang memerah dengan awan tebal, hujan juga segera pergi. Tersisa rintik-rintik. 

 

Sedangkan udara basah menggigit sum-sum tulang. Saya lalu bergegas ke kawasan Golo Lando, untuk mengkonfirmasi Kepala Desa Lentang, Hironimus Pantur.  

 

Hironimus pun berterima kasih kepada komunitas LMC, yang mengadakan kunjungan kasih kepada warga disabilitas di desanya. 

 

"Saya sebagai pemerintah desa berterima kasih. Saya selalu mendukung," kata Hironimus. 

 

Hironimus berpendapat bahwa warga desa yang dipimpinnya ini juga berbangga atas kegiatan sosial LMC. Dia pun berharap agar aktivitas amal seperti ini juga dilakukan bersama pemerintah desa di hari-hari mendatang.   

 

Oleh sebab itu, dia mengharapkan agar kunjungan komunitas LMC menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Mereka juga diharapkan dapat membantu kepolisian, untuk mensosialisasikan cara berkendara yang baik di Kecamatan Lelak, terutama di Desa Lentang. [] 

 

 #2022 

Timoteus Rosario Marten 

22/07/2022

- July 22, 2022

Cerita singkat Asmat menjadi keuskupan mandiri

Asmat naratimo.com
Dokumen penulis

Dalam siaran Radio Merauke Maro, Uskup Merauke menyampaikan pengumuman yang ditujukan kepada semua umat Katolik Irian Barat, khususnya umat di wilayah Asmat. Isi pengumuman itu kurang lebih berbunyi: 


"Bersama ini kami umumkan, bahwa dengan sebuah surat keputusan dari Tahta Suci di Roma, daerah Gerejani Asmat ditingkatkan menjadi keuskupan Agats-Asmat. Terhitung mulai tanggal 21 Agustus 1969. Kepada seluruh warga Gereja Katolik dan terutama kepada Mgr. Alphonse Sowada, OSC kami mengucapkan selamat berbahagia atas tugas baru sebagai Uskup. Semoga Tuhan mencurahkan rahmat dan berkat-Nya ke atas Keuskupan Agats dan uskupnya."


Asmat adalah suatu daerah yang luas. Luas wilayahnya kira-kira 100 ribu kilo. Daerah ini sebagian besar terdiri dari rawa-rawa dan dataran rendah. 


Sampai pada tahun 1950 Asmat masih merupakan "tanah yang belum disentuh", didiami oleh orang-orang yang ditakuti oleh orang-orang dari luar. 


Sebenarnya mereka sendiri takut kepada penyakit, kematian dan orang-orang yang bersikap bermusuhan, serta pemahaman tentang roh-roh. Yang menjadi pedoman hidup mereka adalah apa yang menentukan hidup orang-orang yang masih berziarah di dunia ini. 


Namun, sebenarnya mereka juga adalah manusia, sama seperti manusia lainnya. Mereka juga menginginkan kebahagian dalam hidup mereka.


Pos pemerintah pertama dibuka pada tahun 1939. Sesudah Perang Dunia II dibuka kembali pada tahun 1954. 


Akan tetapi, pada tahun 1952 Pater Zegwaard, MSC memulai suatu sejarah pekerjaan misi Katolik di antara orang-orang Asmat yang gagah perkasa. 


Asmat Papua
Dokumen penulis

Dengan penuh keberanian dan semangat yang luar biasa lima orang guru yang pertama mulai bertugas di kampung-kampung, seperti, Syuru, Ewer dan Ayam. 


Pada tahun 1953 Pater Zegwaard meninggalkan Mimika dan mulai menetap di Agats sebagai pastor yang pertama. Menjelang beberapa bulan kemudian beliau mendapat bantuan dari Pater Welling, MSC.


Monsinyur Tillemans dan para misionaris dari Keuskupan Merauke bekerja dengan giat dan penuh semangat di Asmat. Respons dari warga setempat terhadap misi Katolik ini sangat luar biasa. 


Persekutuan gerejani semakin bertambah besar. Umat meminta lebih banyak imam. Perkembangan yang sedang berjalan menuntut lebih banyak guru dan para teknisi yang terdidik.


Pada tahun 1958, dari Amerika datang para pater dan bruder Ordo Salib Suci (OSC) yang pertama untuk turut membantu perkembangan misi Katolik di Vikariat Merauke, terutama wilayah Asmat. Mereka itu adalah Pater Pitka, Pater Hesch dan dua orang bruder yang siap bekerja di Agats. Mereka itu adalah Br. de Louw dan Br. Meumer. 


Asmat Papua
Dokumen penulis

Dari sekitar 35 ribu penduduk, sebagian dari mereka sudah dibaptis. Mereka yang dibaptis diperkirakan mencapai 14 ribu orang. Kecuali sekolah-sekolah pada banyak tempat, juga gereja-gereja di Agats, Ewer, Yamas, Erma, Komor, Ayam, Yasakor, Atsj dan Primapun. 


Primapun dengan stasinya yang banyak penduduk (6.000) termasuk dalam daerah Asmat dan sekarang ini merupakan bagian dari Keuskupan Agats-Asmat. 


Walaupun untuk sementara waktu dua orang Pater MSC dari keuskupan Agung Merauke masih akan tetap membantu para misionaris OSC di sana. Di Agats ada lima orang suster dari kongregasi Santa Maria Pengantara. Sebagian orang-orang Asmat sendiri, dan para awam yang mempunyai andil besar dalam perkembangan pewartaan misi Katolik di tanah Asmat. 


Daerah Asmat kini sudah menjadi Gereja (Keuskupan) sendiri, yang bersama dengan Gereja (Keuskupan) Merauke, Jayapura dan Manokwari membentuk provinsi Gerejani Irian Barat (Gereja Timika dikemudian hari). 


Dengan membentuk Provinsi Gerejani ini, maka Irian Barat (Papua) menjadi tujuh Provinsi Gerejani dari Indonesia. []



Penulis: Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM, Anggota Fransiskan Papua


18/07/2022

- July 18, 2022

Perang Dunia II dan misi Katolik di Papua Selatan

Katolik Papua
Dokumen penulis

Perang Dunia II membawa akibat yang begitu besar bagi misi Katolik di Papua Selatan. Saat itu tidak mungkin mendatangkan misionaris baru untuk berkarya. 

 

Papua Selatan tidak pernah diduduki oleh ekspansi militer Jepang selama Perang Dunia II, kecuali Asmat, Mimika dan beberapa daerah lain di Papua. Daerah-daerah yang tidak diduduki oleh Jepang meliputi daerah pantai sekitar Merauke, Mappi dan Muyu. 

 

Oleh sebab itu, para misionaris, baik awam, maupun biarawan-biarawati, dapat bekerja terus tanpa gangguan akibat perang.

 

Pada tahun ini (sekitar 1941 - 1942) Pater Drabbe, MSC bekerja di antara suku Mappi dan Auyu. Tahun 1942-1945 ia mulai bekerja di antara suku Muyu. Pater ini tidak pernah segan untuk mempelajari bahasa daerah Mappi, Auyu dan Muyu. 

 

Pada tahun tersebut ini, doa-doa dibuat oleh sang pater dalam bahasa daerah, demi kepentingan pembinaan iman umat.

 

Selama Perang Dunia II tidak mungkin mendatangkan guru-guru baru dari Kei ataupun Tanimbar. Maka putra-putra asli daerah Muyu, Mappi dan Auyu sendiri dididik sedapat mungkin, untuk membantu pelayanan misi Katolik di daerah-daerah tersebut. 

 

Dengan metode demikian pelbagai kampung dapat ditempatkan guru asli. Mereka bekerja sebagai guru agama atau guru biasa pada sekolah-sekolah yang sudah dibuka.

 

Kemajuan misi Katolik di Papua Selatan dapat dilihat dalam statistik tahun 1945. Di pantai selatan Papua, termasuk Kimaam ada 8.608 orang Katolik, Muyu ada 4.028, Mappi dan Auyu ada 1.328 orang dan Mimika 4.992 orang Katolik. Jumlah seluruhnya kira-kira mencapai 19.000 orang Katolik. Ini merupakan suatu hasil yang memuaskan kala itu. 

 

Akan tetapi, ini sebuah hasil dari pengorbanan para misionaris yang membawa injil atau kabar baik.

 

Pada Mei 1943 Pater Laper, MSC meninggal dunia karena tenggelam dalam sungai di Mimika. Demikian pula dengan Pater Neyes, MSC. Ia menemui ajalnya karena tenggelam dalam sebuah sungai di dekat Muting. Hal ini terjadi pada tahun yang sama, yakni tahun 1943, waktu pendudukan Jepang di Papua. 

 

Misi Katolik di bawah asuhan MSC harus berduka karena kehilangan beberapa misionarisnya di Langgur-Kei Kecil, Maluku. Tahun 1942 Jepang menduduki pulau tersebut. 

 

Pagi-pagi tanggal 30 Juli 1942, Mgr. J. Aerts, MSC, bersama lima orang Pater dan lima orang bruder yang bekerja di Langgur dibunuh dengan kejam oleh tentara Jepang.

 

Sesudah Perang Dunia II para misionaris yang masih hidup dan kuat, setelah mengalami tawanan perang oleh pihak Jepang, akhirnya kembali ke stasi mereka masing-masing. 

 

Pada tahun 1946 datanglah beberapa misionaris dari Belanda yang siap membantu penyebaran Injil di Tanah Papua. Mereka adalah Pater Kessel, MSC, Pater Verhoeven, MSC, Bruder van Hoof dan Bruder van de Martel. 

 

Tak lama kemudian pada tahun yang sama, tepatnya di bulan Desember datang juga seorang pater muda yang menyusul mereka berempat. Dia adalah Pater Zegwaard, MSC. 

 

Pater ini sejak April 1947 ditugaskan di Mimika sampai tahun 1952. Waktu itu, Pater Kessel sudah bertugas di Pasir Putih dan di kemudian hari membuka stasi Primapun.

 

Pada tahun 1947 datang lagi beberapa misionaris muda dari Belanda yang siap membantu pelayanan Misi Katolik, di daerah yang bagi mereka semua serba baru.

 

Namun, mereka tak gentar dan siap menjalankan tugas ini dengan penuh semangat. Mereka itu adalah Pater Verhage, MSC, yang pada tahun kedatangannya bertugas di Merauke. 

 

Pada tahun 1948, datang juga seorang pater baru. Ia adalah Pater Sneekes, MSC. Ia ditugaskan untuk berkarya di daerah Muyu-Mandobo selama 12 tahun. 

 

Pater Sneekes bekerja tanpa lelah untuk mewartakan kabar baik bagi umat yang dilayaninya.

 

Tahun 1948 misi Katolik di daerah Merauke diperkuat dengan datangnya bruder-bruder dari Kongregasi Santa Perawan Tujuh Kedukaan. Mereka ini bekerja dan terlibat langsung dalam pendidikan, pertanian, peternakan dan pertukangan, yang mula-mula dibuka di Merauke. 

 

Baru setahun kemudian dibuka lagi di Kepi dan Mindiptana. Bruder-bruder menciptakan kader-kader baru yang siap berkarya di atas tanah mereka sendiri.

 

Katolik papua
Dokumen penulis

Tidak tinggal diam sebagai kaum perempuan. Maka pada tahun 1949 para suster mulai bekerja di Mimika dan daerah Muyu. 

 

Pada tahun yang sama, Pater Meeuwisse dan Pater Verschueren mengadakan perjalanan selama 53 hari. Mereka menempuh hutan dan menemukan sungai besar, yang pada waktu itu sungai ini belum masuk dalam gambar peta Pulau Papua. 

 

Mereka berdua juga berjumpa dengan penduduk yang belum terdaftar (dibaptis). Penduduk diperkirakan berjumlah 10.000 atau 15.000 orang. 

 

Pada saat yang sama stasi di Merauke berjalan dengan lancar. Di wilayah Merauke datang juga seorang bruder untuk membantu pelayanan di sana. Ia adalah Br. Leoendersloot. Bruder ini tiba di Merauke pada 3 April 1949. Di kemudian hari menyusul Pater Vriens, MSC yang bertugas di Bade.

 

Waktu Perang Dunia II pecah, Pater Verschueren sudah mendirikan sekolah pertanian dan pertukangan. Sesudah Perang Dunia II usai, sekolah-sekolah ini dipindahkan ke Kelapa Lima dan dikemudian hari ditingkatkan menjadi sekolah teknik. 

 

Para misionaris ini juga membuka sekolah lanjutan dan sekolah pendidikan guru. Semuanya berpusat di Merauke. 

 

Pada permulaan tahun 1950 datanglah tenaga baru yang siap berkarya. Ia adalah Br. Willemese yang diberi tugas mengurusi perkebunan. Tahun yang sama juga, datanglah seorang pater baru. Ia adalah Pater van de Linden.

 

Misi di Papua Selatan maju sedemikian pesat, sehingga pada Juni 1950, Papua Selatan dipisahkan dari Maluku, serta diangkat menjadi Vikariat Apostolik yang berpusat di Merauke. 

 

Pater H. Tillemans diangkat menjadi Vikaris Apostolik yang pertama. Dengan demikian Gereja di Papua dibagi dalam dua wilayah gerejani. Wilayah itu ialah Vikariat Apostolik Merauke dan Prefektur Apostolik Hollandia (sekarang Jayapura). Pada saat inilah misi di Papua memasuki babak baru. []

 

 

Penulis:Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM, Fransiskan Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua